Kita patut bergembira, akhirnya Freeport Indonesia setuju melepas 51 persen sahamnya ke pemerintah. Pertanyaannya, sanggupkah pemerintah pusat jadi pemilik saham mayoritas perusahaan yang mengelola tambang emas terbesar di dunia ini?
Jawabannya belum tentu, tapi saya bermimpi rencana pemerintah mengambil-alih kepemilikan saham Freeport jadi kenyataan.
Masalah yang muncul berikutnya cuma satu: punya duitnya gak?
Emang berapa sih harganya, Bang? Awal tahun lalu, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Hadi M Djuraid mengungkapkan, nilai divestasi 51 persen saham Freeport ditaksir hanya sekitar Rp 30 triliun, seperti dilaporkan Kumparan.
Tapi nilai yang ditawarkan perusahaan ini boleh jadi ada di kisaran Rp 110 triliun dengan menyertakan cadangan emas dan tembaga ke dalam nilai kapitalisasi perusahaan.
Soal harga masih dalam proses nego antara kedua belah pihak. Namun sedari awal, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson minta saham yang dilepas ke pemerintah dinilai dengan harga pasar.
Saham yang dilepas wajib dibeli. Andai pemerintah Jokowi di Jakarta gak sanggup membeli seluruh atau sebagian saham tersebut, sisanya akan ditawarkan ke Pemerintah Daerah. Lalu ditawarkan lagi sisanya ke BUMN dan BUMD yang mau beli. Terakhir, pemerintah akan menawarkan saham itu ke perusahaan swasta nasional. Ini sesuai dengan bunyi PP Nomor 1 Tahun 2017.
Baca juga:Pemerintah Cina Wajibkan Warganya Verifikasi Akun, Bagaimana dengan Indonesia?
Balik ke pertanyaan awal, ada duitnya gak? Saat ditanya wartawan, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum mau mengungkapkan apakah pemerintah pusat sudah memiliki alokasi dana atau belum untuk mengambil alih 51 persen saham Freeport.
Jadi, punya uang buat investasi atau tidak, jawabannya belum pasti.
Yang pasti, utang negara masih terus bertambah. Utang ini dibutuhkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran belanja yang besar pasak daripada tiang.
Saat ini, posisi utang negara mencapai Rp 3.667 triliun per April 2017. Bertambah 201 triliun Rupiah dalam kurun waktu empat bulan. Hingga bulan Juli kemarin, utang pemerintah sebanyak Rp 3.779 triliun, nambah lagi 112 triliun Rupiah dari posisi April 2017.
Utang tersebut merupakan akumulasi utang dari pemerintahan sebelumnya. Dan penambahan utang baru sebagian besar digunakan untuk membangun infrastruktur, utamanya akses transportasi, yang hasilnya sudah mulai terlihat.
Dan pemerintah sudah sampai pada satu titik mengambil utang baru untuk membayar beban bunga utang berjalan.Â
Namun demikian, pemerintah yakin utangnya masih aman karena tren rasionya terhadap PDB terus mengecil.
Melihat pengalaman berutang di atas, rasa-rasanya tidak susah buat Pemerintah Jokowi untuk mendapatkan utang baru 30 atau 110 triliun buat beli 51 persen saham Freeport. Tapi kalau minjemnya buat investasi, kreditor biasanya akan berhitung hasil lebih-tinggi. Apalagi yang mau dibeli sahamnya adalah perusahaan tambang terkemuka asal Amerika.
Nanti tinggal gimana pemerintah, mau ambil semua, ambil sebagian, ambil beberapa lembar saham atau gak ambil sama sekali. Yang paling paham soal kesehatan neraca keuangan negara adalah pemerintah sendiri. Rakyat cuma bisa wanti-wanti, jangan sampai gara-gara beli saham ini, negara jadi bangkrut kebanyakan utang.
Di luar soal kemampuan pemerintah, keterlibatan swasta nasional dalam divestasi ini akan jadi isu panas berikutnya. Rakyat tentu tidak mau kalau pada akhirnya yang menguasai 51 persen saham tadi justru pihak swasta.
Kalau ujung-ujungnya begini, sama saja dengan memfasilitasi swasta lokal beli saham milik swasta asing dengan bantuan Peraturan Pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H