Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Saracen dan Bisnis Manipulasi yang Menjebak

24 Agustus 2017   19:11 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:38 3269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: InfoKomputer - Grid.ID

Dunia maya adalah tempat paling manipulatif. Di sini, di banyak platform media sosial yang dipenuhi banyak pengguna, selalu ada peluang untuk memanipulasi fakta dan data.

Dalam dunia bisnis, kita mengenal yang namanya manipulasi-permintaan. Saat sebuah toko baru dibuka, si empunya akan mengundang bahkan membayar beberapa orang untuk datang mengantri di depan tokonya. Seolah barang dagangannya diminati banyak orang. Pedagang kaki lima juga punya kiat yang sama: orang-orang terdekatnya diminta berkerumun agar orang-orang berdatangan (dan membentuk kerumunan asli).

Di Twitter dan Instagram, pengguna bisa membeli pengikut sekian akun sekian Rupiah. Silakan tanya mbah google untuk memahami betapa menggiurkan bisnis jualan pengikut dan betapa banyak pedagang maya yang ikut menjajakannya. Dengan menggunakan layanan ini, sebuah akun bisa dapat puluhan ribu pengikut dalam waktu singkat. Di mata pengguna lain, akun itu seakan dikenal dan diminati banyak orang.

Manipulasi ini dibutuhkan oleh pebisnis untuk mempercepat pencapaian target marketing-daring yang telah ditetapkan.

Nah, dunia politik yang sekarang berubah menjadi sebuah industri dan entitas bisnis pun melakukan hal yang sama. Manipulasi dianggap sebagai cara instan dalam memenangkan peperangan siber. Mereka paham betul adagium "Di internet, tidak ada yang tahu kamu seekor anjing". Jadi apa salahnya memanipulasi pemirsa toh mereka tidak tahu dan tidak mau tahu sedang dimanipulasi.

Tujuannya jelas: menggerogoti citra lawan sambil mengerek naik citra kubunya sendiri.

Maka banyak hal dimanipulasi. Tidak hanya jumlah pengikut, jumlah jempol, jumlah keterbacaan dan jumlah sebaran, tapi juga konten.

Mereka yang jadi panglima perang di era komunikasi digital paham, konten adalah senjata pamungkas yang digunakan untuk berperang. Senjata ini punya banyak jenis, mulai dari artikel, meme, kicauan, infografis, video, dan banyak lagi. Dari yang paling mudah dan murah biaya produksinya. Sampai yang susah dan mewah hasilnya.

Baca juga: Hati-hati, jangan sampai tersihir oleh judul yang menyihir!

Maka wajar kalau produsen senjata semacam ini bermunculan, bergerilya menawarkan produk mereka ke para pemangku kepentingan di kedua kubu. Mereka bekerja dalam senyap. Memanipulasi pemirsa dengan sekian banyak konten. Mereka memutarbalikkan fakta, menyebar fitnah, menanamkan emosi ke satu informasi, dan membingkai setiap peristiwa ke dalam konteks politik yang mereka inginkan.

Mereka bekerja bukan karena idealisme, tapi semata-sama karena bisnis. Ada uang, ada barang. Konten yang dibuat pun tidak dilempar begitu saja lalu dibiarkan mendekam di satu jaringan digital. Sekian akun palsu digunakan, sekian banyak kloningan dikerahkan untuk menyebarkan konten pesanan tersebut. 

Tapi ingat, internet adalah ranah yang berbekas dan serpihan rotinya mudah dilacak. Polisi dengan pasukan kriminalitas-sibernya baru saja menangkap salah satu kelompok yang diduga menjadi produsen senjata mematikan ini. Kelompok bernama saracen tersebut ditengarai memproduksi konten-konten negatif bertarif puluhan juta rupiah untuk banyak klien.

Saya lihat grup Facebook kelompok ini, juga websitenya masih aktif alias belum dibekukan aparat. Silakan cek di www.saracennews.com. Di situ mengalir konten yang sepintas lalu biasa-biasa saja. Karena jualannya memang bukan di situ.

Kalau diperhatikan lebih lanjut, website tersebut juga menyantumkan Pedoman Media Siber dari Dewan Pers. Padahal itu bukan produk jurnalistik.

Dan berdasarkan penelusuran tim kriminalitas siber yang saya tahu sudah dilengkapi perangkat siber nomor wahid, polisi mensinyalir kelompok Saracen adalah agen pembuat konten berbayar yang dibuat untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan.

Lantas siapa sih sebenarnya klien-klien pemesan konten saracen? Jawaban ini yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang sudah lama terpapar serangan senjata mereka.

Sambil menunggu rilis polisi berikutnya, mari tingkatkan kecerdasan dalam bermedsos. Baca dulu sebelum merespon konten. Teliti dulu sebelum menyebarkan konten. Karena boleh jadi konten yang anda terima itu adalah senjata mematikan yang diproduksi dalam peperangan tak berwujud ini.

#sosmedsos
Salam literasi media!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun