Â
Namun demikian, fatwa ini terkesan aneh karena dalam pertimbangannya, MUI tidak menyertakan fatwa bermuamalah di dunia nyata yang mestinya sudah ada jauh tahun sebelumnya.
Di bagian awal fatwa ini, MUI menyantumkan dalil-dalil seputar kewajiban cek dan ricek informasi, larangan buru-buru klik tombol share, larangan menyebarkan kecurigaan dan prasangka buruk, menggunjing, mengumpat, menghina dan  memfitnah.
Allah swt memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu berbuat adil, sekalipun terhadap orang yang dibenci. Rasulullah juga mewajibkan umatnya untuk menjaga lisannya, selalu jujur dan tidak boleh bohong. Bahkan menceritakan keburukan orang lain, sekalipun itu fakta, juga dilarang, dan itulah yang disebut dengan ghibah.
Lebih lanjut, fatwa ini menyertakan Hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk bertutur kata yang baik dan menutupi aib orang lain. Bahkan saat Anda punya kebiasaan menyampaikan semua hal yang didengar tanpa saringan informasi yang memadai, Anda layak dicap sebagai pembohong. Dan mereka yang suka mencela dan menuduh orang lain termasuk orang-orang yang muflis alias bangkrut—pahalanya habis dimakan dosa mencela dan menuduh orang serta dosa-dosa lainnya.
MUI juga mengingatkan umat Islam terhadap kaidah fikih yang berlaku dalam bermuamalah. Di antaranya:
- Bermuamalah pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya
- Tulisan itu punya kedudukan hukum yang sama dengan ucapan
- Hipotesis (anggapan dasar) tidak bisa dijadikan pegangan
- Perbuatan untuk menghindarkan diri dari kerusakan didahulukan dari perbuatan yang mendatangkan kebaikan.
Yang Diharamkan
Dari sekian banyak ketentuan dalam fatwa ini, yang paling menarik tentunya bagian yang diharamkan. Karena kalau dilanggar, pelakunya akan mendapatkan dosa.Â
Poin-poin yang diharamkan dalam interaksi digital adalah:
- Ghibah. Yaitu menyampaikan informasi faktual dan valid tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
- Namimah. Ini adalah tindakan adu-domba yang outcome-nya adalah rasa saling benci dan permusuhan sampai peperangan di kedua belah pihak. Sampai saat ini, saya belum menemukan satu merek mesin politik yang menggunakan instrumen ini dalam gerilya digitalnya.
- Gosip. Media massa sudah memproduksi, masyarakat awam pun lebih sering mengunyahnya, dari zaman arisan beneran sampai terbentuknya grup-grup WhatsApp. Aib orang tidak boleh dicari-cari, kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
- Konten Negatif. Haram hukumnya memproduksi konten yang merusak, termasuk fitnah, konten tipuan, kabar bohong, konten untuk merisak orang lain, ujaran kebencian dan permusuhan.
- Konten Maksiat. Pornografi, konten judi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang oleh syar’i, haram dikonsumsi dalam interaksi digital.
- Konten Pribadi. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi yang tidak patut disebarkan ke publik, haram hukumnya. Misalnya gambar porno dan informasi rahasia seseorang.
- Konten Tidak Sesuai. Bahkan menyebarkan konten yang benar namun tidak sesuai tempat dan waktunya pun tidak dibolehkan dalam Islam.
- Opini Sesat. Opini yang membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, atau membangun persepsi adanya kesukseskan dan keberhasilan, atau memanipulasi fakta dan menyembunyikan kebenaran, atau menipu khalayak adalah haram.
- Produksi dan Sebaran Konten Batil. Menyebarkan konten dan informasi yang tidak benar dan tidak baik sama haramnya dengan memproduksi konten-konten tersebut.
- Dosa Buzzer. Semua buzzer atau cyber army, termasuk orang yang merekrut dan menyewanya,  sudah sedang dan akan selalu berdosa, karena secara etis mereka bertugas menyerang lawan politiknya dengan informasi faktual dan valid (ingat, ghibah dilarang). Apalagi kalau si buzzer memproduksi konten yang belum tentu benar dan konten palsu. Dosa dan apes Anda akan berlipat saat Anda melakukan ghibah, tapi ternyata gak ada yang bayar alias cuma dapat jempol dan taburan pujian dan cacian di kolom komentar.
[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]
Tapi dalam fatwa ini saya tidak menemukan larangan menyebarkan informasi yang belum tentu benar atau meragukan. Masalah tersebut diatur dalam Pedoman Verifikasi Konten/Informasi, satu dari empat pedoman yang masing-masing dirinci ketentuan dan arahannya.