Beruntunglah orang Islam. Apapun yang terjadi dengan zaman yang dia tinggali, hidupnya tetap dipagari serangkaian aktifitas ibadah yang menetralisir hatinya untuk tetap tunduk dan sabar.
Setiap hari dia diperintahkan shalat lima waktu, membersihkan anggota tubuhnya dengan air lima kali sehari. Untuk membersihkan hartanya, dia punya kewajiban zakat, dengan perhitungan yang masuk akal, di kisaran 2,5 persen dari apa yang dia miliki.
Setiap minggu dia diperintahkan untuk shalat Jumat berjamaah di masjid, mendapat siraman rohani dari alim ulama. Dan setiap tahun, masih ada ibadah tahunan berupa puasa sebulan penuh dan membayar zakat fitrah di bulan suci Ramadhan.
Puasa Ramadhan adalah benteng paling sempurna yang dimiliki setiap muslim dalam rangka mengikatkan hatinya dengan Tuhannya. Maka tak berlebihan bila bulan suci ini dirancang sebagai bulan ibadah. Bulan pensucian diri. Bulan ujian untuk mereka yang beriman. Yang setiap hari setiap minggu setiap bulan bersembahsujud kepada Allah swt.
Mereka yang jarang atau malah tidak pernah shalat dan zakat, ‘dipaksa’ untuk kembali mendirikan tiang agama. Sepanjang bulan ini, mereka-mereka yang terbiasa meremehkan shalat dan dengan ringan hati meninggalkannya akan kembali rajin shalat—setidaknya selama dia berpuasa.
Puasa didesain agar manusia mau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebutuhan dasarnya. Manusia butuh makan dan minum untuk kelangsungan hidupnya, tapi puasa melarang dua aktifitas dasar tersebut. Manusia butuh berinteraksi seksual untuk kelangsungan jenisnya, tapi puasa melarangnya.
Intinya, tidak ada satu benda dan zat pun yang boleh dimasukkan ke dalam tubuh. Dan tidak ada nafsu birahi yang boleh dikeluarkan sepanjang raga berpuasa.
Tak Berwujud
Dan lebih dari itu, puasa tidak berwujud dan berbekas. Tidak ada penampakan fisik yang bisa membedakan orang yang puasa dari yang tidak. Mereka yang tidak puasa bisa berpura-pura puasa dengan tidak makan dan minum di hadapan orang lain. Mereka yang puasa pun bisa melakukan semua hal yang dilarang secara sembunyi-sembunyi: Diam-diam makan atau minum atau melampiaskan birahinya untuk kemudian kembali berbaur dengan komunitasnya yang sedang berpuasa.
Berbeda dengan syahadat, shalat, zakat, lebih-lebih haji. Keempat rukun Islam lainnya itu terlihat wujudnya. Bisa direkam aktifitasnya. Dan bisa diceritakan perbuatannya. Masalahnya bukan bagaimana Anda menyembunyikan atau mengumumkan kegiatan ibadah tersebut. Tapi terletak dari bentuk ibadah itu sendiri: syahadat, shalat, zakat dan haji adalah melakukan sesuatu, sedangkan puasa adalah tidak melakukan sesuatu.
Anda bisa dengan mudah memperlihatkan apa yang sedang dilakukan, tapi sulit memperlihatkan apa yang tidak sedang dilakukan.
Ketika Anda bilang ‘saya sedang puasa’, bukti apa yang bisa menguatkan klaim tersebut? Apa yang bisa meyakinkan lawan bicara bahwa sebelum dan setelah pernyataan itu diucapkan, Anda tidak makan dan minum. Kalau pun secara fisik Anda menahan lapar, dan orang lain bisa dengan jelas menyaksikan Anda tidak makan dan minum dari imsak sampai beduk magrib, Anda masih harus membuktikan bahwa sepanjang waktu yang sama Anda terus-menerus menahan hawa nafsu.
Selain bentuknya yang berbeda, praktek dan sistem puasa juga unik, berbeda sama sekali dari ibadah wajib lainnya. Durasi puasa jauh lebih lama dari shalat yang hanya sekian menit kali lima. Puasa harus dilakukan selama matahari terbit, dan baru boleh dilepas setelah matahari terbenam. Puasa harus dilakukan terus-menerus, mulai dari sebelum waktu Subuh sampai Maghrib tiba, sambil melakukan kegiatan sehari-hari, di mana pun Anda berada. Berbeda dengan shalat yang dilakukan tuntas di waktu dan tempat khusus, dalam arti kita tidak melakukan kegiatan lain saat shalat dan tidak ada kegiatan lain yang mengganggu ibadah shalat.
Itulah mengapa, orang Islam yang sedang berpuasa akan terdorong untuk melakukan ibadah wajib dan sunnah lain yang kerap ditinggalkannya seperti shalat dan zakat. Itulah sebabnya bulan Ramadhan istimewa karena rancangan ibadah di dalamnya sama sekali berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Itulah sebabnya hanya di bulan ini Allah meletakkan lailatul qadar, malam yang ganjaran pahalanya setimpal dengan ibadah seribu bulan.
Allah swt sengaja menciptakan Ramadhan agar hamba-Nya, setiap tahun sekali, mendapatkan kesempatan kedua untuk menghisab dirinya sendiri (self-assessment). Mengukur level kedekatan hatinya dengan Tuhannya. Mendorong dirinya beribadah tanpa henti sepanjang bulan. Menguji dirinya sendiri lewat puasa--yang dengan mudah dia manipulasi wujudnya.
Dan, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, Allah swt menegaskan bahwa puasa itu untuk diri-Nya. Dan Allah akan langsung memberikan balasan untuk setiap puasa yang dilakukan hamba-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Semua amalan Bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Mari riah kesempatan ini. Berpuasalah untuk Tuhanmu. Karena Dia ada untukmu.
#ayopuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H