Mobil-mobil di depan sana belum sempurna berhenti saat pintu-pintunya dibuka hampir serempak, lalu orang-orang di dalamnya berhamburan ke luar, berjalan cepat nyaris berlari memasuki Terminal VIP Bandara El Tari.
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 17.17 waktu setempat. Para juru tulis (wartawan dan blogger) yang mobilnya selalu berada di urutan buncit, tak mau kalah sigap menyusul orang-orang di depannya dengan tas ransel di pundak dan semua alat perang di medan liputan yang memenuhi kedua tangan.
Harus saya akui, semua insan dalam rombongan ini bergerak sangat cepat. Wuzz, wuzz… Kalah deh arus manusia yang saya nikmati di hampir semua stasiun bawah tanah di Tokyo, enam tahun lalu.
Begitu keluar gedung bandara yang tidak begitu luas, pesawat Boeng 737-800 berwarna biru muda pada bagian punggung dan putih pada bagian lambung parkir manis di depan sana. Mata berbinar-binar. Hati berbunga-bunga. Seketika itu, saya langsung teringat foto yang saya unggah ke Instagram @iskandarjet, sehari sebelumnya: “Sore tadi ketemu dia. Besok sore pulang bersamanya.”
Akhirnya saya berkesempatan naik pesawat presiden.
Rasa letih berlipat yang saya rasakan sepanjang dua hari mengikuti kunjungan kerja presiden di NTT sekejap silam begitu pandangan mata menatap deretan kursi penumpang berbalut kulit warna coklat muda. Udara sejuk dari pendingin udara menelan begitu saja rasa lengket di sekujur badan yang sudah tidak keruan baunya. Lalu saya lihat nama yang menempel di kursi penumpang itu: Sdr Iskandar Zulkarnaen.
Aha, tiket saya sudah nempel di situ!
Setiap tempat duduk di pesawat ini memang sudah ada namanya pada bagian atas sandaran bangku. Maklumlah, penumpang kan tidak perlu bawa boarding pass saat naik ke atas. Jadi identitas penumpang sudah ditempel di situ.
“Mas Gapey, saya duduk di jendela ya?” Tanya saya sambil menggeser badan ke kursi di dekat jendela.
“Silakan, Mas,” jawab Gapey singkat.
Asiiikk…. Saya langsung membenamkan badan di atas kursi empuk yang ukurannya terasa lebih lebar dari kursi kelas ekonomi pesawat komersil yang pernah saya naiki. Panorama senja membuat saya betah menatap apapun yang ada di luar jendela. Jingga, jingga dan jingga....
Jujur saya katakan, naik pesawat kepresidenan di penghujung tahun 2015 lalu merupakan kenangan paling berkesan yang bisa saya ceritakan di awal tahun ini. Meskipun sudah lebih dari seminggu, aroma wangi kabin pesawat dan indahnya interior masih tertinggal dalam ingatan.
Tidak mudah melupakan keistimewaan yang saya dapatkan bersama Kompasianer Gapey Sandi. Karena bisa dibilang, kita berdua merupakan warga biasa pertama yang terbang satu pesawat bersama presiden, menggunakan pesawat kepresidenan yang belum genap berusia dua tahun.
“Sepertinya begitu ya. Mas Is warga biasa pertama yang naik pesawat presiden,” kata Bey Machmudin, Kepala Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden, saat saya konfirmasi via telepon.
Tidak sembarang orang bisa naik pesawat milik Sekretarit Negara ini. Hanya keluarga presiden, Staf Ahli dan pejabat istana yang berkepentingan, serta menteri yang masuk dalam daftar-pendek yang diperkenankan terbang bersama presiden. Rombongan lain yang ikut serta adalah dari Protokoler Istana, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) dan wartawan.
Menurut Bey, tidak semua pegawai di istana bisa naik pesawat presiden. Rombongan yang ikut hanya sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam sebuah kunjungan presiden. Seorang pejabat di Kementerian Perdagangan juga mengaku ingin naik pesawat presiden, namun tidak terpikir kapan mimpi itu jadi kenyataan.
Toilet Lapis Kayu
Kesan pertama yang saya rasakan saat berada di kabin pesawat adalah perasaan wah. Interior warna krem dengan paduan ornamen kayu coklat pada beberapa sudutnya menampakkan keindahan kabin. Karpetnya pun bernuansa coklat muda, klop dengan dominasi warna yang disuguhkan.
Saya duduk di kompartemen kelas ekonomi yang diisi dengan 42 kursi (nampaknya ada dua kursi yang diangkat untuk digunakan sebagai tempat menaruh barang ukuran besar). Setiap kursi sudah ditempel nama-nama penumpang, sehingga mustahil ada penumpang gelap yang masuk. Sore itu, kebetulan semua kursi terisi penuh.
Ruang bagian depan adalah Ruang Kenegaraan (State Room) berkapasitas dua orang, diperuntukkan khusus untuk Presiden dan Ibu Negara yang menempati kompartemen kelas VVIP. Selain itu, pesawat seharga US$ 91,2 juta (sekitar Rp 820 milyar) ini juga dilengkapi dengan ruang pertemuan VVIP berkapasitas empat orang.
Tapi berhubung saya tidak bisa masuk lewat pintu depan, juga tidak boleh jalan-jalan ke kompartemen VVIP, cukup itu dulu ya penjelasan seputar kabin dari depan sampai belakang. Sekarang waktunya balik ke bagian belakang pesawat, ke kelas ekonomi yang diisi oleh staf istana dan wartawan (plus dua orang blogger yang untuk pertama kalinya nimbrung dalam rombongan).
Kualitas kursi di pesawat ini boleh saya bilang sama dengan kualitas kursi kelas bisnis Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik—tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Di dalam kantung kursi setiap penumpang, tersemat wadah berbentuk setengah lingkaran ukuran lumayan besar. Setelah sekian kali naik-turun pesawat penerbangan jarak pendek maupun jarak jauh, baru kali ini saya melihat benda sebesar itu.
Baru saja duduk manis dan mencoba ini itu, termasuk memplototi logo Garuda pada sabuk pengaman warna emas, dua pramugari dari TNI AU sudah bergerak memberikan handuk basah ke setiap penumpang. Saya melihat semua orang setelahnya melakukan gerakan yang sama: menyingkirkan peluh keringat yang menempel pada wajah dan leher, lalu menyandarkan badan sambil menghirup dalam-dalam udara dingin dalam kabin. Atau setidaknya itulah yang saya lakukan sebelum akhirnya para pramugari berkeliling lagi mengambil handuk-handuk kotor.
Matahari sudah merah di depan sana. Saya merasa begitu nyaman dan tenang berada di dalamnya. Maklum, selain desain faktor interior yang menyejukkan mata, pesawat ini dilengkapi dengan sistem navigasi canggih plus sistem keamanan paling mutakhir seharga US$ 4,5 juta. Belum lagi jalur penerbangan presiden ini sudah tentu masuk dalam prioritas pertama lalu lintas udara.
Setelah lampu tanda sabuk pengaman mati, hidangan makan malam pun disajikan. Dari sini saya tahu pelayanan penumpang ditangani oleh Garuda Indonesia. Begitu melihat logo sang garuda di dalam paket sajian, saya sudah bisa membayangkan kualitas kuliner yang disuguhkan.
Di atas baki coklat tua itu tersusun rapi nasi dan lauk di atas piring oval porselin tanpa penutup. Bawang goreng di tengah nasi dan susunan wortel dan sayur-mayur lainnya begitu menggoda.
Alhamdulillah, pengalaman terbang pertama bersama Presiden Jokowi dan Ibu Negara berjalan mulus. Pesawat Kepresidenan itu benar-benar memberikan pengalaman yang selama ini saya impikan….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H