Saat mengambil balik uang Dollar, di ujung ruangan ada yang nyahut: "Di sini emang gitu mas."
***
Saya sering ke tempat money changer ini karena nilai tukarnya bagus. Saya pun paham bagaimana hebohnya para pebisnis valuta dalam memperlakukan Dollar, khususnya lembar 100 Dollar. Tapi baru kali uang saya dipotong dengan alasan yang menurut saya dibuat-buat.
Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Hong Kong, Thailand, Brasil atau Malaysia, negara kita paling-paling dalam memperdagangkan Dollar. Uang 100 Dollar cetakan lama atau tahun-seri di bawah tahun 2000 akan dihargai jauh di bawah nilai tukar berjalan. Apalagi kalau uang seri lama dan kondisinya kumal. Uang seperti ini akan dianggap bukan bagian dari kelompok elit lembar 100 Dollar, tapi dimasukkan dalam kelompok denominasi (pecahan) 10 Dollar atau malah 1 Dollar—yang harganya lebih murah di banding pecahan 100.
Kalau di negara lain, yang diperiksa biasanya hanya keaslian uang dan keutuhan fisiknya (bukan mulus atau licinnya uang seperti standar heboh money changer Jakarta).
Itulah sebabnya, saat menukarkan uang lokal ke Dollar di negeri rantau atau negara kunjungan, diaspora atau wisatawan Indonesia yang sudah paham betapa parnonya pedagang valas Indonesia akan meminta pecahan besar. Yang diincar adalah lembar 100 Dollar. Atau paling apes denominsi 50 Dollar. Karena kalau yang didapat recehan Dollar, total kekayaan yang akan didapat dalam bentuk Rupiah akan jauh dari yang diharapkan.
Begitu berharganya lembar Benjamin Franklin, sampai-sampai ada perusahaan yang tidak lagi memberikan recehan Dollar ke karyawannya yang mau tugas ke luar negeri. Maksudnya, kalau total kebutuhannya 576 Dollar, maka yang akan diterima oleh si karyawan adalah lima lembar uang denominasi 100 Dollar, plus uang Rupiah senilai 76 Dollar.
Ini untuk menghindari spekulasi ganas yang terjadi di tingkat 'Dollar recehan' seperti saya paparkan di atas.
Dari cerita ini, semakin kebayang betapa di negeri ini, Dollar sudah jamak diperlakukan sebagai barang dagangan (baca: barang mewah). Bukan lagi sebagai mata uang atau valuta. Yang dinilai bukan Dollarnya. Tapi kertasnya, tintanya, stempelnya, benang pengamannya dan semua ukuran fisik yang nampak pada uang kartal bernama Dollar.
 #Salam100Dollar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H