Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Kaprah Masa Orientasi Siswa (MOS)

30 Juli 2015   09:43 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:14 7633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Mendikbud Anies Baswedan mendatangi sekolah yang menggelar MOS aneh-aneh. (Kemendikbud)"][/caption]

 

Saya bersyukur termasuk satu dari sedikit anak Indonesia yang terbebas dari praktek perpeloncoan berkedok Masa Orientasi Siswa (MOS), atau sekarang resmi disebut Masa Orientasi Peserta Didik (MOPD), yang setiap tahun dihujat oleh masyarakat.

Ketika sekolah di Gontor (setingkat SMP-SMA), saya tidak mengenal apalagi merasakan yang namanya ‘senior ngerjain murid baru’ (nantikan cerita wajah MOS Gontor di artikel berikutnya). Dan saat memulai kuliah di UIN (dulu bernama IAIN) pun, masa orientasi yang saya jalani terbilang moderat dan jauh dari praktek sesat.

Sejatinya, setiap orang butuh perkenalan saat bertemu dengan orang atau lingkungan baru. Inilah inti dari MOPD. Agar siswa mengenal sekolah dan lingkungan di dalamnya. Memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai siswa. Mendapat gambaran umum kegiatan belajar-mengajar di kelas. Serta, yang paling penting, meluruskan niatnya bersekolah.

Saya melihat, salah kaprah MOPD terjadi karena niatnya sudah keblinger. Masa orientasi dibuat sebagai ajang untuk melatih mental, menerapkan disiplin dan mempererat tali persaudaraan. Dengan semangat seperti ini, pantas saja yang dilakukan panitia adalah membuat program-program yang menurut mereka bertujuan melatih ketahanan mental, membuat peserta didik disiplin dan mengakrabkan senior dan junior.

Maka dibuatlah aneka rupa kegiatan yang tidak masuk akal. Di Ambon, siswa baru sampai disuruh masuk ke dalam got, seperti diceritakan seorang teman, Fauzi Seknun. “Di daerah kami sampai-sampai di masukkan anak-anak kami ke dalam got merayap seperti katak,” tulis Fauzi di Facebook.

Para senior yang membuat program merayap di dalam got  itu pasti berpikir, begini nih caranya untuk melatih mental. Padahal, mereka itu bukan orang yang ahli dalam urusan melatih mental.

Saat sidak ke SMKN 4 Tangerang, Rabu (29/7) pagi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyaksikan praktek perpeloncoan yang sudah dianggap biasa oleh para penyelenggara sekolah: Siswa-siswa baru dipaksa mengenakan tas karung goni, tali sepatu dari rafia, pita rambut aneka warna, kaos kaki warna-warni hingga papan nama dari kardus.

Oh, anu, itu biar mereka gak gampang malu, Pak. Biar mereka berani menghadapi orang. Biar mentalnya oke gitu. Saya membayangkan semangat itu yang tertanam di benak para penyelenggara MOS. Padahal, yang mereka lakukan hanya mempermalukan peserta didik dan membuat mereka sakit hati untuk kemudian melakukan aksi balas dendam.

Urusan latihan kedisiplinan juga dibuat sesuka senior. Ada yang diminta datang jam 5 pagi. Ada yang disuruh keliling minta tanda tangan sambil nyembah-nyembah. Pokoknya dibuat peraturan yang menurut panitia lucu dan unik. Dan setiap pelanggaran, akan diganjar dengan hukuman yang menurut mereka 'setimpal'.

Peraturan aneh sengaja kita buat sekreatif mungkin biar kita akrab, Pak. Kan nanti setelah MOS mereka jadi punya cerita yang lucu-lucu gitu. Apalagi nanti kalau mereka udah lulus. Jadi kenangan yang endaaahhh. Yah, begitulah yang mereka pikirkan. Dan demikianlah yang kemudian dipraktekkan. Dari tahun ke tahun. Tanpa ada arahan mendidik dari penyelenggara pendidikan.

Domain Pendidik

Kalau gitu, ditutup aja MOS nya.

Jangan, itu bagian penting dalam proses belajar-mengajar.

Trus, kalau itu penting, gimana dong seharusnya MOS dilaksanakan?

Idealnya, MOPD atau MOS menjadi domain para pendidik, bukan siswa. Siswa bukan pihak yang bertanggungjawab apalagi dianggap mampu menyelenggarakan MOS. Dan penyelenggara negara yang baik adalah yang tidak hanya memikirkan bagaimana ujian nasional dilaksanakan secara seragam, tapi bagaimana MOS dilaksanakan serentak dengan metode dan muatan yang terarah.

Siapa yang paling pantas menggelar dan mengisi MOPD? Ya jelas kepala sekolah atau rektor selaku pimpinan di sekolah/kampus. Pengisi materinya adalah para guru/dosen bersama para pakar. Siswa lama juga dilibatkan mengisi materi, dalam bentuk demonstrasi kegiatan di sekolah, seperti pentas seni, olahraga, dan pramuka.

Sekali lagi, siswa atau mahasiswa tidak mempunyai kapasitas untuk mengadakan orientasi sekolah. Bahkan sebaliknya, setiap siswa (baru dan lama) semestinya menjadi peserta MOS.

Maksud saya, MOS atau MOPD yang digelar di setiap awal tahun ajaran baru itu seharusnya ditujukan untuk semua siswa, mulai dari siswa baru kelas 7 (1 SMP), kelas 8, sampai kelas 12 (3 SMA). Para guru dan setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan dan pengajaran juga harus ikut MOPD. Agar ada pembaruan dan pelurusan semangat belajar untuk semua insan didik. Jadi bukan eksklusif ditujukan untuk siswa baru seperti yang selama ini berlaku.

Saya salut pada Menteri Pendidikan yang kemarin langsung melakukan sidak dan memberikan instruksi tegas agar MOS tidak jadi ajang perpeloncoan. Mendikbud, seperti dikutip ANTARANews, meminta sekolah tidak membiarkan siswa baru mengenakan atribut aneh-aneh karena lebih banyak mencerminkan pembodohan.

"Penyebab terjadinya kejahatan karena penyalahgunaan wewenang, bukan karena banyaknya kesempatan, tetapi karena diam dan mendiamkan," tegas Mendikbud.

Tapi saya berharap pemerintah tidak  hanya melakukan sidak atau membuat loket pengaduan kekerasan MOS/OSPEK, tapi juga memberikan SOP pelaksanaan dan materi MOS/OSPEK yang disebarkan ke seluruh sekolah/kampus, jauh hari sebelum tahun ajaran baru dimulai.

Mari hilangkan budaya kekerasan, penyalahgunaan wewenang dan kepemimpinan otoriter dari generasi penerus dengan menata ulang pelaksaan MODP, OSPEK dan sejenisnya.

Baca juga:

Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional! (Bagian 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun