Peraturan aneh sengaja kita buat sekreatif mungkin biar kita akrab, Pak. Kan nanti setelah MOS mereka jadi punya cerita yang lucu-lucu gitu. Apalagi nanti kalau mereka udah lulus. Jadi kenangan yang endaaahhh. Yah, begitulah yang mereka pikirkan. Dan demikianlah yang kemudian dipraktekkan. Dari tahun ke tahun. Tanpa ada arahan mendidik dari penyelenggara pendidikan.
Domain Pendidik
Kalau gitu, ditutup aja MOS nya.
Jangan, itu bagian penting dalam proses belajar-mengajar.
Trus, kalau itu penting, gimana dong seharusnya MOS dilaksanakan?
Idealnya, MOPD atau MOS menjadi domain para pendidik, bukan siswa. Siswa bukan pihak yang bertanggungjawab apalagi dianggap mampu menyelenggarakan MOS. Dan penyelenggara negara yang baik adalah yang tidak hanya memikirkan bagaimana ujian nasional dilaksanakan secara seragam, tapi bagaimana MOS dilaksanakan serentak dengan metode dan muatan yang terarah.
Siapa yang paling pantas menggelar dan mengisi MOPD? Ya jelas kepala sekolah atau rektor selaku pimpinan di sekolah/kampus. Pengisi materinya adalah para guru/dosen bersama para pakar. Siswa lama juga dilibatkan mengisi materi, dalam bentuk demonstrasi kegiatan di sekolah, seperti pentas seni, olahraga, dan pramuka.
Sekali lagi, siswa atau mahasiswa tidak mempunyai kapasitas untuk mengadakan orientasi sekolah. Bahkan sebaliknya, setiap siswa (baru dan lama)Â semestinya menjadi peserta MOS.
Maksud saya, MOS atau MOPD yang digelar di setiap awal tahun ajaran baru itu seharusnya ditujukan untuk semua siswa, mulai dari siswa baru kelas 7 (1 SMP), kelas 8, sampai kelas 12 (3 SMA). Para guru dan setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan dan pengajaran juga harus ikut MOPD. Agar ada pembaruan dan pelurusan semangat belajar untuk semua insan didik. Jadi bukan eksklusif ditujukan untuk siswa baru seperti yang selama ini berlaku.
Saya salut pada Menteri Pendidikan yang kemarin langsung melakukan sidak dan memberikan instruksi tegas agar MOS tidak jadi ajang perpeloncoan. Mendikbud, seperti dikutip ANTARANews, meminta sekolah tidak membiarkan siswa baru mengenakan atribut aneh-aneh karena lebih banyak mencerminkan pembodohan.
"Penyebab terjadinya kejahatan karena penyalahgunaan wewenang, bukan karena banyaknya kesempatan, tetapi karena diam dan mendiamkan," tegas Mendikbud.