Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ini Kolom Komentar, Bung! (Sikapi Diskusi Tulisan dengan Bijak)

27 Juli 2015   11:36 Diperbarui: 27 Juli 2015   11:36 2070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak hadirnya ruang terbuka online seperti blog, Facebook, Twitter, dan Path, banyak yang berubah dalam keseharian kita. Apa yang biasanya kita anggap tidak biasa dalam komunikasi, sekarang sudah jadi hal yang biasa.

Sebenarnya, komunikasi jarak jauh sudah ada sejak dulu. Sejak telegram dibuka untuk umum. Sejak wartel merajalela. Sejak layar ponsel belum berwarna. Tapi dulu, komunikasi jarak jauh masih dibatasi dengan biaya ngobrol per menit atau biaya teks per 160 karakter.

Sekarang tidak ada lagi perhitungan dalam berkomunikasi. Biaya pulsa sudah dikonversi ke dalam bentuk data. Kita bisa ngobrol atau menggerakkan jempol sesuka kita.

Semakin sering nelpon, semakin kita menganggap obrolan tatap muka tidak lagi dibutuhkan. Karena toh apa yang mau disampaikan sudah bisa disuarakan lewat seluler. Kita menganggap nelpon sama dengan obrolan tatap muka.

Semakin aktif memutar jempol, semakin kita menganggap diskusi tatap muka tidak lagi dibutuhkan. Karena toh apa yang mau disampaikan sudah bisa diketik di atas layar. Kita menganggap teks sama dengan nelpon, sama dengan diskusi tatap muka.

Padahal, tidak ada yang sama antara komunikasi suara, teks dan tatap muka!

Diskusi Tulisan

Di sini, saya ingin mengerucutkan pembahasan ke komunikasi teks di kolom komentar. Yang saat ini sudah berubah menjadi tempatnya bertemunya banyak orang dalam membahas sebuah permasalah. Atau lebih tepatnya membahas sebuah artikel di blog ataupun status di Facebook.

Komentar, di semua tema obrolan yang sedang dibahas, kerap memunculkan hawa panas yang dirasakan oleh netizen lain yang sedang menikmati sebuah konten. Orang-orang saling membalas komentar dan sahut-menyahut tanpa henti.

Dalam tema yang hangat atau bahkan panas, seperti tema politik atau keagamaan, fitur komentar mendadak berubah menjadi forum diskusi tanpa moderasi atau penengah. Kadang, obrolan dua orang di kolom komentar jadi bertambah panas saat beberapa orang lainnya nimbrung di sana. Upaya saling bantah dan mempertahankan pendapat tak terbendung. Beragam cara ditempuh. Segudang logika digunakan. Fakta dan data disodorkan. Sekian banyak tautan disertakan.

Tapi sepanjang saya amati dan nikmati, banyak komentator yang menganggap dinamika di kolom komentar senyata diskusi di dunia nyata. Senyata orang yang memberi komentar dan mendukung atau membantah komentar tersebut.

Padahal, sekali lagi, tidak ada yang sama antara komunikasi suara, teks dan tatap muka!

Walhasil, karena menganggap ajang berbalas komentar sama dengan diskusi tatap muka, banyak yang jaka sembung atau terpancing emosi berlebih. Tidak sedikit obrolan di kolom komentar yang menyisakan amarah atau ditinggalkan begitu saja. Tanpa ada ujung pangkal yang jelas.

Tanpa Intonasi

Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para netizen saat berdiskusi di ruang terbuka seperti kolom komentar. Dua hal inilah yang menjadi pembeda antara diskusi tatap muka dan diskusi di dunia maya.

Pertama, terkait ekspresi dan intonasi. Dalam percakapan tulisan, dua hal tersebut sering diabaikan untuk kemudian disalahartikan. Teks yang ditulis tentu tidak bisa secara mutlak membawa serta ekspresi si penulis, sekalipun dia sudah menguasai ilmu pungtuasi (tanda baca) kelas dewa. Parahnya, banyak netizen yang mengabaikan atau tidak tahu cara menggunakan tanda baca dan kaidah tulisan lainnya. Seperti tanda seru (!) yang mengandung emosi dan tanda perintah, atau penggunaan huruf kapital yang mengandung nada tinggi atau berarti penekanan pada satu kata (pengganti huruf miring).

Di lain pihak, netizen yang membaca juga mengartikan setiap kata yang tertulis dan tanda baca di dalamnya secara letterlijk, tanpa peduli apa yang terjadi di balik kata tersebut. Misalnya karena salah-ketik, malas mematikan Caps Lock, dan sebagainya.

Bicara soal intonasi, akan lebih banyak salah-tafsir atau multitafsir yang muncul dalam sebuah diskusi di kolom komentar. Karena saat kita mengetik, kalimat yang ada di kepala kita terurai lengkap dengan intonasinya. Tapi begitu kita masukkan ke kolom komentar lewat tarian jempol, intonasi tadi tidak ikut serta ke dalamnya.

Akan ada orang yang berusaha menyertakannya dengan menggunakan tanda baca dan cara-cara lainnya. Sehingga muncullah beragam gaya pada saat ingin mengetikkan, misalnya, kata “Biasa aja, kali.”

“Biasa ajah, kali.”

“Biasa aja, kaleeeeee....”

“Biasa aja, kali!!!”

Tapi sekali lagi, penafsiran orang terhadap tiga model penulisan di atas boleh jadi berbeda. Bahkan bisa jadi satu orang menganggap ketiga gaya di atas memiliki arti yang sama.

Tidak Ada Orangnya

Kedua, terkait timing atau waktu. Dalam diskusi atau percakapan tulisan, kita tidak bisa memanfaatkan apa yang saya sebut dengan fitur interupsi-langsung atau direct-interruption. Saat seseorang membalas komentar, kita tidak bisa memotong komentarnya dengan penjelasan atau klarifikasi atas apa yang ingin dia komentari—dengan harapan komentarnya tidak berbuah salah paham.

Ingat, semua interaksi atau dialog dalam bentuk tulisan berlangsung dua arah bergantian. Tidak seperti dialog tatap muka yang berlangsung dua arah bersamaan. Kalau sedang bertemu orang atau menelpon, kita bisa bicara secara bersamaan, atau memotong omongan orang atau meminta orang lain untuk menahan diri sambil mendengarkan apa yang ingin kita sampaikan. Tapi dalam dialog tulisan, tidak ada satu pun keistimewaan tadi yang bisa digunakan.

Belum lagi kalau bicara soal kondisi dan posisi saat dialog itu terjadi. Kalau bertatap muka, kita akan melihat bahwa semua orang yang terlibat dalam diskusi hadir di satu tempat pada saat yang sama. Tidak ada yang mengganggu komunikasi antar-mereka. Tapi dalam diskusi tulisan, tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua orang yang terlibat dalam diskusi hadir pada saat yang sama.

Ada kalanya si A sedang serius menanggapi komentar si B, sementara si B sedang berada di bis atau mengendarai mobil. Atau bisa jadi si B tidak bisa menanggapi-balik karena sedang ke kamar mandi, atau harus segera pergi, atau sudah waktunya tidur. Masalah koneksi juga menjadi penghambat yang kerap membuat orang terpaksa melanjutkan diskusi di hari esok, atau tidak melanjutkannya sama sekali.

Akhirnya, argumen yang disampaikan tidak dibaca atau disalahartikan. Komentar panjang hanya direspon bagian bawahnya karena tidak ada waktu untuk membaca semuanya. Mood orang pun jadi berubah-ubah. Hari ini ceria, besok sudah bete sehingga berpengaruh pada interaksinya di dunia maya.

Nah, setelah mengetahui semua faktor-faktor di atas, sudah semestinya kita lebih bijak dalam merespon dan menjalankan diskusi tulisan. Sehingga apa yang terjadi di kolom komentar tidak berdampak lebih panas dibandingkan diskusi tatap muka.

Apalagi, kita tidak pernah bisa mengenal dengan baik semua orang yang terlibat dalam diskusi. Apakah dia benar-benar manusia atau bukan. Karena “On the Internet, nobody knows you’re a dog.” Persis seperti yang digambarkan Peter Steiner di The New Yorker, 22 tahun silam.

[caption caption="Karikatur ini dimuat di harian The New Yorker pada tanggal 5 Juli 1993. (The New Yorker)"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun