Padahal, sekali lagi, tidak ada yang sama antara komunikasi suara, teks dan tatap muka!
Walhasil, karena menganggap ajang berbalas komentar sama dengan diskusi tatap muka, banyak yang jaka sembung atau terpancing emosi berlebih. Tidak sedikit obrolan di kolom komentar yang menyisakan amarah atau ditinggalkan begitu saja. Tanpa ada ujung pangkal yang jelas.
Tanpa Intonasi
Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para netizen saat berdiskusi di ruang terbuka seperti kolom komentar. Dua hal inilah yang menjadi pembeda antara diskusi tatap muka dan diskusi di dunia maya.
Pertama, terkait ekspresi dan intonasi. Dalam percakapan tulisan, dua hal tersebut sering diabaikan untuk kemudian disalahartikan. Teks yang ditulis tentu tidak bisa secara mutlak membawa serta ekspresi si penulis, sekalipun dia sudah menguasai ilmu pungtuasi (tanda baca) kelas dewa. Parahnya, banyak netizen yang mengabaikan atau tidak tahu cara menggunakan tanda baca dan kaidah tulisan lainnya. Seperti tanda seru (!) yang mengandung emosi dan tanda perintah, atau penggunaan huruf kapital yang mengandung nada tinggi atau berarti penekanan pada satu kata (pengganti huruf miring).
Di lain pihak, netizen yang membaca juga mengartikan setiap kata yang tertulis dan tanda baca di dalamnya secara letterlijk, tanpa peduli apa yang terjadi di balik kata tersebut. Misalnya karena salah-ketik, malas mematikan Caps Lock, dan sebagainya.
Bicara soal intonasi, akan lebih banyak salah-tafsir atau multitafsir yang muncul dalam sebuah diskusi di kolom komentar. Karena saat kita mengetik, kalimat yang ada di kepala kita terurai lengkap dengan intonasinya. Tapi begitu kita masukkan ke kolom komentar lewat tarian jempol, intonasi tadi tidak ikut serta ke dalamnya.
Akan ada orang yang berusaha menyertakannya dengan menggunakan tanda baca dan cara-cara lainnya. Sehingga muncullah beragam gaya pada saat ingin mengetikkan, misalnya, kata “Biasa aja, kali.”
“Biasa ajah, kali.”
“Biasa aja, kaleeeeee....”
“Biasa aja, kali!!!”