Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Ibu, Dua Belas Anak (2)

23 Desember 2011   08:34 Diperbarui: 22 Desember 2017   17:43 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen membahagiakan saat ibu bersiap pergi umroh.

Sebelumnya, saya sengaja memaparkan bagaimana kiprah ibu untuk masyarakat sekitarnya. Bagaimana dia memberi perhatian besar pada pendidikan agama untuk anak-anak dan kaum perempuauan. Untuk ukuran seorang ibu beranak dua belas yang setiap hari ikut banting tulang membantu usaha susu sapi suaminya, apa yang dilakukan oleh ibu sepanjang hidupnya sungguh luar biasa. 

Lalu bagaimana dia mengurus anak-anaknya? 

Bicara soal pendidikan anak, wanita kelahiran Jakarta dari pasangan Betawi ini mungkin kurang ideal tuk dijadikan contoh. Ibu hanya lulusan Sekolah Rakyat dan tidak sempat mengenyam pendidikan di atasnya. Tapi gelar pendidikan formal serendah itu sudah tergolong istimewa, mengingat waktu itu, sekolah masih jadi barang mewah buat perempuan. 

Tapi dengan segala keikhlasannya, ditambah dengan semangatnya menuntut ilmu, dia mendidik anak-anaknya satu per satu. Mendorong mereka untuk sekolah setinggi langit. Meski dorongan ini sering terbentur dengan kemampuan finansialnya sendiri. Namun sering terjadi, doa yang dia panjatkan sepanjang malam untuk anak-anaknya membuahkan hasil sehingga sebagian dari mereka mampu menamatkan jenjang pendidikan sarjana hingga pascasarjana. 

Untuk ukuran Jakarta yang metropolitan, keluarga saya mungkin tidak ada apa-apanya. Tapi jangan bayangkan Jakarta sekarang. Bayangkan ini terjadi dulu di awal era kemerdekaan. Saat kultur Betawi masih belum begitu mementingkan pendidikan. Maka keputusan ibu untuk mengedepankan pendidikan dari urusan lainnya merupakan satu kemajuan yang menguntungkan kami. 

Bicara soal kesenangan di rumah, orang tua saya termasuk pelit. Televisi di rumah tidak pernah diganti kecuali rusak tidak bernyawa sama sekali. Lemari es hanya dibeli untuk berjualan es. Itu pun terus dipakai sampai pintunya copot dan harus diikat dengan karet. Makanya waktu RCTI mengudara pertama kali, saya sering numpang nonton TV di rumah tetangga. Dan ketika saya butuh sepeda, sepeda pertama yang saya dapat tidak lebih dari sepeda bekas seharga 20 ribu rupiah yang waktu itu sudah sangat mewah untuk ukuran mata kecil saya.

Tapi begitu bicara soal pendidikan, apapun yang dibutuhkan anaknya pasti dipenuhi. Ibu dan baba tidak segan-segan menjual tanah dan sapi untuk memondokkan anak-anak ke Gontor dan beberapa pondok pesantren lainnya. Juga untuk memberangkatkan anaknya ke Mesir demi satu harapan yang lebih tinggi. 

Cerita di atas meja panjang 

Melahirkan, membesarkan dan mendidik anak adalah pekerjaan yang sangat berat. Kalau ada suami pulang ke rumah dan mengeluh letih dan lelah setelah bekerja seharian kepada istrinya, maka semestinya suami itu mengerti betul bagaimana beban kerja seorang istri dalam mengurusi satu orang anak. 

Bagi saya pribadi, jauh lebih capek dan meletihkan mendidik satu orang anak dibandingkan bekerja mencari nafkah. Makanya generasi saat ini ada yang tidak ingin punya anak lebih dari satu. Atau tidak mau membayangkan bagaimana repotnya menangani tiga anak. Empat, enam, delapan. Dijamin tidak ada yang berani membuat anak sebanyak itu. Lantas bagaimana kalau anaknya berjumlah dua belas? 

Saya akan menjawabnya dengan mengisahkan satu tradisi buka puasa saat sebagian besar dari kami, anak-anak ibu yang selusin ini, masih halus-halus dan belum berkeluarga. 

Setiap jelang berbuka, tiga meja panjang sudah memenuhi ruang makan. Tiga belas piring kosong dijajarkan mengitari meja. Beberapa mangkuk sayur diletakkan bagian tengah bersama lauk-pauk yang dibagi rata. Di ruang itu, semuanya laki-laki, hanya ada tiga orang wanita, yaitu ibu, kakak perempuan dan seorang pembantu. 

Saat semua sudah berkumpul di ruang makan, suasana gaduh akan menyemarakkan suasana. Satu sama lain saling bercanda dan melempar tawa. Setiap orang punya julukan yang berbeda-beda. Ada yang dipanggil si Black, Gepeng, Paul, Mantut, Belo dan banyak lagi. Menjelang Maghrib, ibu akan memimpin pembacaan zikir menjelang berbuka. Suasana pun berubah seperti di pengajian. 

Hingga saat ini, kesepuluh anak laki-laki ibu sudah menguasai ritual keagamaan dengan baik, dan setiap orang tidak hanya bisa mengaji, tapi juga bisa memimpin doa dan memimpin sholat. Tentunya termasuk anak perempuannya yang kini tinggal semata wayang. Modal agama itu saja sudah kami anggap cukup dan istimewa. 

Suasana hangat di antara anak cucu ibu masih bisa kami rasakan hingga sekarang, saat keluarga besar kami yang dikomandani oleh satu orang ibu sudah berjumlah 60 orang: 11 anak, 11 mantu, 34 cucu, 2 mantu cucu dan 2 

cicit. Pertengkaran dan perselisihan di antara kami tentu pernah terjadi. Maklum, mayoritas di sini adalah anak laki-laki yang masing-masing punya ego sendiri. Saya pun sering membayangkan betapa pusingnya menjadi seorang ibu saat 10 anak laki-laki dan satu anak perempuannya berselisih paham. Tentu dia tidak bisa membela yang satu dan mengalahkan yang lain. Setiap anak adalah buah hatinya. Setiap kepala berhak atas kasih sayang yang tak terhingga. Maka pada akhirnya, ketika ada perselisihan, setiap orang berusaha untuk saling mengalah. Dan mempercayakan ibu sebagai penengah yang paling bijak. 

Ada begitu banyak karakter di masing-masing anak ibu. Perlu sesi panjang sendiri untuk menceritakan sosok anak pertama hingga terakhir. Tapi di sini, di hari ibu ini, saya hanya ingin mengungkapkan betapa bangganya kami menjadi anak ibu. Menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa besar ini. 

Mungkin saya pernah berharap dilahirkan menjadi anak tunggal atau hanya punya satu dua saudara saja. Dengan impian bisa mendapatkan kasih sayang yang lebih berlimpah. Tapi bila pun angan-angan itu terwujud, belum tentu saya dapat merasakan kebahagiaan dan keberuntungan bersama ibu dan baba tercinta. Karena kasih sayang ibu yang saya rasakan sungguh tiada tara. 

Cium hangat untuk ibu tercinta yang saat ini masih berjuang memulihkan penyakit tulang di punggungnya. 

Baca juga: Bu, Tidur dulu, Bu. Istirahat dulu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun