Saat keluarga saya, atau persisnya rumah baba kena gusur untuk pertama kalinya di tahun 1991 (yang menjadi awal lahirnya fenomena anak gusuran ibukota dan secara dramatis mendongkrak harga tanah di pelosok dan sekitar Jakarta), ibu mengutamakan kelangsungan pendidikan agama yang sudah dirintis.Â
Bersama baba, dia membangun rumah dua lantai di atas tanah warisan orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari rumah baba. Lantai pertama untuk keluarga, lantai kedua diprioritaskan untuk pengajian.Â
Saat sistem pendidikan Iqra dirintis di Jogja, ibu langsung bergabung dan membuka cabang Iqra di rumah barunya. Waktu itu dia mulai menemukan bentuk pendidikan yang lebih modern dibandingkan sistem pengajaran alif-ba-ta yang tradisional. Sebuah yayasan pun dibangun dengan nama Jamilatun Nisa.Â
Di tempat baru ini, kegiatan pendidikan berlari kencang. Lembaga pendidikan TK Islam dan TK Al Quran berjalan bersama pengajian ibu-ibu yang rutin berjalan setiap Jumat siang. Acara-acara keagamaan yang melibatkan ribuan jamaah pun ritun digelar setiap tahun, seperti peringatan Maulid Nabi.Â
Lalu sepuluh tahun lebih berselang, proyek Mega Kuningan kembali membutuhkan tanah leluhur kami untuk bisnis properti mereka yang nampaknya sudah dirancang sejak puluhan tahun silam. Akhirnya, ibu saya kembali digusur dan pindah ke daerah Tanjung Barat. Tapi darah pendidik dan pengajar dalam jiwanya masih mengalir deras. Dan semangat juang itu membimbingnya ke sebuah petak tanah seluas seribu meter lebih, yang sebagiannya diwakafkan untuk lembaga pendidikan TK dan SD Islam.Â
Bangunan sekolah pun dibangun dengan uang hasil gusuran. Keberkahan tiada tara diraih ibu dari ibadah yang selama ini dilakoni setiap hari.Â
Ke-11 anaknya dapat mengenyam pendidikan meskipun harus tertatih-tatih. Sebagian besar meraih sarjana, juga ada yang sudah S3, meskipun ada juga yang hanya lulusan SMA. Tapi untuk ukuran seorang ibu dengan belasan anak yang berasal dari keluarga sederhana, mencapaiannya saat ini sungguh luar biasa.Â
Dan di usianya yang uzur dan sakit-sakitan, dia masih terus membesarkan lembaga pendidikannya dengan memperluas bangunan sekolah agar daya tampung murid bertambah. Dan saya masih belum melihat adanya aroma bisnis di sepanjang perjuangan ibu dalam merintis pendidikan untuk masyarakat sekitar.Â
Bersambung ke: Satu Ibu, Dua Belas Anak (2)
Baca juga: Bu, Tidur dulu, Bu. Istirahat dulu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H