Pagi tadi, saya mendapat kabar menggembirakan dari Hazmi Srondol, salah seorang Kompasianer yang sedang memahat namanya menjadi sebuah merek (alias mem-branding namanya) lewat sebuah buku humor berjudul Gayus Srondol ke Italy. "Tulisan saya di Kompasiana mau dipakai Indomie buat ditayangkan di majalah Tempo, Bang!" ujarnya, berapi-api.
Informasi itu dia terima beberapa waktu lalu dari sebuah agency periklanan yang mengatasnamakan Indomie. Tulisan yang dimaksud adalah sebuah reportase lama berjudul "Indomie Rebus Mas Kun" yang menceritakan nostalgia Indomie di kantor lama mas Srondol.
Senyum saya langsung merekah mendengar kabar baik tersebut. Bagaimana tidak. Tulisan itu tidak ditulis untuk Indomie dan tidak pernah diikutkan dalam lomba yang pernah diadakan oleh Indomie. Menurut informasi yang didapat si Srondol yang satu ini, Indomie pernah mengadakan lomba menulis, tapi tidak menemukan satu konten yang bagus untuk dijadikan sebagai materi kampanye produk mereka. Saya membayangkan, ketika Agency yang bertugas bertanya-tanya ke mbah Google, kira-kira ada tidak tulisan yang bagus seputar Indomie, akhirnya ditunjukkanlah satu tulisan seksi seputar Indomie di Kompasiana milik mas Srondol tadi.
Atau kurang-lebih seperti itu asal-usul digunakannya tulisan mas Srondol oleh tim Indomie. Kalau sudah bicara iklan, konten apapun yang digunakan oleh Agency jelas membuahkan gemericik uang untuk si empunya. Tulisan tak ubahnya foto, kedua-duanya sama-sama masuk dalam kategori konten (termasuk juga konten dalam bentuk video dan audio). Anda pasti sudah tahu kan, kalau foto seorang jurnalis foto digunakan untuk materi iklan, nilainya menjadi sedemikian mahal. Saya menduga, kurang lebih seperti itulah nasib baik yang sedang dialami oleh mas Hazmi.
Bicara soal Indomie, Jurnalis Warga dan Kompasiana, ada satu lagi tulisan Kompasianer yang jauh lebih seksi dari tulisan mas Srondol dan dibaca oleh ratusan ribu orang. Ya, Anda benar. Tulisan yang saya maksud adalah berita razia Indomie yang dibuat oleh Okti Li dan Blindie Lee, dua Kompasianer yang tinggal dan bekerja di Taiwan. Karena kedua berita itu memiliki bobot berita yang sangat seksi, yang beramai-ramai menggunakannya adalah media massa di Indonesia. Hampir semua koran, majalah dan televisi merekam fenomena razia Indomie oleh Departemen Kesehatan Taiwan. TVOne bahkan secara lugas menyertakan tulisan Blindie Lee sebagai bagian penting dalam liputannya--sebuah sikap yang belum diadopsi oleh banyak media mainstream Indonesia. Walhasil, Blindie dan tulisannya waktu itu masuk TV!
Saya lalu teringat dengan pengalaman lain terkait berkah yang didapat Kompasianer dari tulisan yang mereka tayangkan di Kompasiana. Herman Hasyim, misalnya, dipercaya sebagai editor lepas sebuah majalah milik perusahaan migas terkemuka. Rupanya rezeki yang diterimanya itu terkait erat dengan tulisan-tulisan bernasnya yang sangat dinikmati oleh seorang praktisi komunikasi di industri migas yang kebetulan sedang menerbitkan majalah untuk perusahaan tempat dia bekerja.
Yusron Darmawan yang dikenal dengan berita-berita kuat dan mendalam juga mengaku mendapatkan beasiswa ke luar negeri setelah panitia seleksi membaca tulisan-tulisannya di Kompasiana.
"Dampak tulisan itu sangat besar. Seorang juri di tingkat nasional langsung menghubungiku. Ia mengajak berbincang tentang beberapa artikel yang kubuat di Kompasiana. Ia merespon baik dan mengatakan bahwa artikelku sangat bermanfaat serta dibaca banyak orang." Tulis Darmawan.
Konten berkualitas
Itulah fakta yang terjadi di Kompasiana. Didukung oleh lebih dari 70 ribu Kompasianer, tidak aneh jika Kompasiana kemudian berubah menjadi wadah konten bermutu dan berkualitas. Meskipun konsep yang diusung Kompasiana adalah media warga (Citizen Media), namun proses yang dialami oleh setiap Kompasianer memungkinkan mereka untuk terus meningkatkan kualitas tulisannya dari waktu ke waktu. Mereka bebas melakukan pendalaman dan mengamatan atas sebuah peristiwa. Mereka juga punya kapasitas dan kemampuan intelektual untuk mengangkat sebuah isu dan membedahnya dengan beragam mata pisau keilmuan.
Hebatnya lagi, dalam satu tarikan nafas, mereka berperan-ganda sebagai pencari data, penyaji informasi, pengedit tulisan dan produser konten yang, dengan kesadaran penuh, bertanggungjawab atas apa yang mereka sajikan untuk pembaca setia.
Terlebih, latar belakang Kompasianer sangatlah beragam. Pelajar, politisi, ibu rumah tangga, dokter, guru, wartawan, pelaut, pengamat, sastrawan, ekonom, pejabat publik, diplomat, sampai pemilik perusahaan besar juga ikut ngeblog di Kompasiana. Sehingga tema apapun yang dicari, dijamin tidak terlalu sulit menemukan konten yang berkualitas dan bermanfaat.
Pengalaman positif yang diungkapkan beberapa Kompasianer di atas tidak sekedar mengonfirmasi kualitas konten yang beredar di Kompasiana, tapi juga menghadirkan satu fenomena baru yang menarik untuk dicermati: Betapa konten yang ditayangkan Kompasianer dalam bentuk tulisan dibaca, dipantau dan dicari oleh banyak pengguna Internet dari beragam kalangan.
Beragam kalangan yang saya maksud bisa jadi pelajar yang sedang menulis makalah, mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, akademisi yang sedang melakukan penelitian, dosen, manager, direktur, konsultan, pengamat, politisi, bahkan orang nomor satu negeri ini boleh jadi ikut mengikuti perkembangan konten di media warga ini. Saat mereka ingin mencari sebuah konten, mereka cukup memasukkan kata kunci di kotak pencarian Google, maka muncullah tulisan-tulisan Kompasianer, yang semuanya merupakan konten utuh, bukan sekedar percakapan singkat atau kicauan belaka.
Kompasianer memang tidak pernah bisa menduga siapa yang membaca tulisannya. Tapi karena media sosial ini bersifat terbuka (bukan berjejaring seperti Facebook), siapapun memiliki akses terhadap semua konten yang berseliweran di dalamnya. Bisa jadi hanya teman biasa. Atau saudara jauh yang kisahnya sedang disajikan ke pembaca. Atau pihak perusahaan yang sedang dikeluhkan pelayanannya (seperti yang pernah dialami oleh Pipit Senja yang mengeluhkan pelayanan Bank Mandiri, lalu mendapat tanggapan langsung dari Media Relations - Corporate Secretary Bank Mandiri).
Dalam tingkat-khayal-tinggi, boleh jadi saat ini ada seorang putri konglomerat super kaya yang sedang mencari calon suami lewat tulisan yang ditayangkan di dunia maya.
Siapa tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H