Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Presiden Jangan Masuk Tol

20 Juli 2010   02:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:44 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199128" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shuttestock)"][/caption] Pagi ini saya mau berterus-terang terkait peristiwa bentakan traumatik yang dialami oleh Hendra. Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan: Pertama, saya baru tahu peristiwa itu pada Sabtu malam lewat Twitter dan belum sempat membaca Surat Pembaca Kompas edisi Jumat, 16 Juli 2010, atau berita-berita terkait arogansi anggota Satuan Patroli dan Pengawalan (Patwal) terhadap Hendra saat mengosongkan ruang tol Jagorawi untuk rombongan presiden. Kedua, saya lupa bahwa pada tahun 2004 lalu pernah terjadi peristiwa yang alur ceritanya mirip, namun lebih tragis dari sekarang-karena mengakibatkan korban jiwa. Maklum, saya termasuk orang Indonesia yang cepat lupa. Saya baru ingat peristiwa itu saat membaca tulisan "Patwal yang Pening" yang ditayangkan Mas Inu, Minggu (18/7) kemarin. Saat membaca tulisan mas Inu, hati saya sangat terenyuh dan bertambah geram. Mengetahui seorang bapak diancam mau dibedil menjelang iring-iringan presiden saja sudah membuat hati saja mangkel. Apalagi ini sampai mengakibatkan tabrakan beruntun dan menewaskan enam nyawa. Dan ketiga, saat hati ini sedang marah, terus-terang saya memikirkan keluarga para korban tahun 2004 dan perasaan mereka saat membaca pemberitaan seputar iring-iringan presiden yang kembali mengundang kecaman banyak pihak. Saya juga ingin tahu nasib keluarga korban saat ini. Apakah waktu mereka mendapat santunan yang layak dari pemerintah? Apakah pemerintah menyampaikan permintaan maaf secara resmi atas terjadinya tragedi berdarah tersebut? Dan banyak pertanyaan lain. Karena saya tidak mengikuti berita yang berperistiwa yang bersumber dari curhat Hendra di harian Kompas, saya urung menulis. Tapi begitu salah seorang keluarga korban dalam kecelakaan 2004 memberi komentar di tulisan mas Inu di atas, saya tergerak untuk mengingatkan kembali pemerintah akan carut-marut lalu lintas Jabodetabek dan sikap bijak yang mesti diambil untuk mengakhiri petaka menjelang iring-iringan keprisedan di jalan raya. Keluarga korban yang saya maksud adalah ayah Shanti bernama Agus Supianda. Silakan baca kembali tulisan mas Inu berjudul "Sebelum Trauma Mas Hendra". Di tulisan ini, mas Inu mendapatkan cerita lebih lengkap dari Agus yang saat itu, dalam suasana lebaran yang menggembirakan, mengajak keluarganya berlibur ke Ragunan. Namun nasib berkata lain, angkot yang disewanya mengalami tabrakan beruntun menjelang iring-iringan presiden dan menewaskan Shanti, putrinya yang saat itu berusia delapan tahun. "Sampai sekarang trauma atas kejadian cerita diatas masih membekas pada diri saya,karena itu kejadian yang menimpa saya dan keluarga saya..anak saya meninggal yang bernama Shanti yang kala itu berumur 8 tahun..," tulis Agus di halaman profil dan kolom komentar tulisan mas Inu. Sebagai seorang ayah dengan dua putri, saya memaklumi betul trauma yang dialami oleh Hendra dan Agus. Mereka adalah warga biasa seperti saya. Mereka bayar untuk 'menikmati' jalan tol meskipun tetap terjebak macet di dalamnya. Dan saya yakin, dalam dua kali pemilu terakhir, mereka ikut pemilu dan memberikan suara bersama ratusan juta warga negara lainnya. Intinya, mereka adalah orang baik-baik yang tidak layak mendapatkan musibah seperti ini. Sampai saat ini, dalam benak mereka (dan juga benak saya dan rekan-rekan sekalian), masih terbesit satu asa, "Andai presiden tidak pernah masuk jalan tol." Mungkin sudah waktunya presiden SBY mulai menggunakan helikopter saat hendak bepergian, khususnya saat harus melewati rute jalan tol. Karena jalan tol adalah jalan berbayar, bukan jalan tak bertuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun