[caption id="attachment_257903" align="aligncenter" width="500" caption="Kahla Ramdhan Zulkarnaen Putra (iskandarjet)"][/caption] Lebaran tahun ini terasa sangat istimewa karena istri tercinta memberi kado yang sangat istimewa. Bukan baju atau celana baru, tapi anak baru! Dan yang terlahir sebagai anak ketiga ini Alhamdulillah berkelamin laki-laki, melengkapi kehadiran dua kakak perempuannya. Tanggal kelahirannya pun terbilang istimewa. Walau saya kurang gandrung dengan permainan angka, tapi angka delapan-sembilan-sepuluh (8 September 2010) harus diakui sebagai angka urut yang bagus untuk dimasukkan ke dalam akte kelahiran. Hari ini, tepat seminggu usia Kahla Ramdhan Zulkarnaen Putra, saya ingin sedikit meluapkan kegembiraan yang masih membekas di hati--selamanya. Sengaja saya tayangkan jam 02:10 dini hari, karena di jam inilah si bayi lahir, ditemani sang ayah yang setia merekam peristiwa bersejarah tersebut. Tapi sebelum melanjutkan cerita, mohon maaf atas segala dosa dan khilaf, semoga lebaran tahun ini menjadikan hati kita kembali fitri. Amin. Selama masa kehamilan yang ketiga, istri saya nyaris tidak mengalami masalah. Sejak usia kehamilan enam bulan, gambar monas sudah terlihat di layar USG sebagai informasi awal jenis kelamin sang bayi. Singkat cerita, di usia kehamilan sembilan bulan, istri melakukan pemeriksaan rutin, Selasa (7/9) kemarin, atau sehari sebelum melahirkan. Berpegang pada data rekam medis, saat itu dokter kembali memberitahu tanggal perkiraan kelahiran, yaitu 21 September 2010. Tapi karena tradisi kelahiran sebelumnya selalu maju sekitar dua minggu, firasat bayi akan lahir sebelum lebaran sudah mulai terasa. Persiapan menyambut bayi pun sudah rampung, dan sebuah tas kecil berisi semua perlengkapan selama menginap di rumah sakit pascapersalinan telah disiapkan. Ternyata dugaan kita benar. Sore hari usai pemeriksaan rutin tadi, istri merasakan mulas, bagian punggung panas. Tanda-tanda awal persalinan mulai terasa, dan saya pun bergegas pulang ke rumah dan tiba sekitar pukul delapan malam. Menjelang tengah malam, mulasnya semakin sering, dengan jeda sekitar 10 menit. Istri meningkatkan aktifitas fisik untuk memperlancar proses persalinan dengan merapikan rumah sebisanya-sambil menunggu taksi datang. Kepala Terlihat Tepat pukul 12 malam, saya dan istri tiba di rumah sakit. Dokter lalu menetapkan pembukaan tujuh, sehingga istri langsung dibawa ke ruang bersalin. Tak lama berselang, seorang pasien menyusul masuk. Ruang bersalin ini memang dirancang untuk persalinan dua orang sekaligus. Dan saat-saat paling menegangkan pun dimulai! Ketegangan lebih terasa karena sebelumnya saya menjadi saksi lahirnya anak manusia dari seseorang di balik tirai. Saya tidak kenal pasien yang datang belakangan. Yang saya kenal (dan saya akrabi selama sejam berikutnya) adalah teriakannya yang sangat keras sambil memanggil-manggil suster. Mulesnya pasti sangat sakit dan hanya wanita yang bisa menggambarkannya. Tapi suster yang bertugas menanganinya dengan tenang. Dia meyakinkan pasiennya bahwa pembukaannya belum bertambah dan saat melahirkan baru akan tiba. Dan perkiraan suster tepat, ketika seorang dokter masuk ke ruang bersalin, persiapan persalinan segera digelar, saat melahirkan tiba, seorang bayi perempuan pun lahir dengan selamat. Di balik tirai, saya dan istri tersenyum bahagia mendengar jeritan sang bayi. Teriakan penuh kesakitan dan ketegangan tadi sirna ditelan kebahagiaan atas hadirnya seorang manusia baru. Sungguh menggembirakan, bahkan orang seperti saya yang tidak mengenalnya pun ikut bahagia. Setelah itu, saya sadar bahwa setelah ini giliran saya. Melewati masa-masa menegangkan, sambil terus berdoa agar proses ini berjalan lancar, istri saya dan sang bayi di dalam sana selamat. Seperti proses dua kelahiran sebelumnya, istri saya tidak merasakan mules teramat sakit yang membuatnya harus berteriak. Setiap kali rasa mules datang, dia berusaha fokus ke pengaturan nafas seperti diajarkan suster. Bertambah jam, rasa sakit itu semakin sering dan terasa lebih hebat dari sebelumnya. Sampai akhirnya, istri saya mulai berteriak sambil memanggil-manggil suster karena dorongan dari dalam bertambah dahsyat. Dan seperti biasa, suster menanganinya dengan tenang. Dia mengatakan bahwa pembukaan belum bertambah. Para petugas di ruang bersalin masih sibuk mengurus bayi yang baru dilahirkan dan meninggalkan kita berdua dalam ketegangan. Saya tidak tahu apakah suster sedang menyamakan teriakan istri dengan pasien sebelumnya. Tapi yang saya rasakan waktu itu, saat melahirkan sudah tiba, dan seharusnya dokter sudah ada di tempat. Pasalnya, sejak pertama kali masuk ruang bersalin, istri saya berusaha sekuat tenaga menahan sakit dan meredamnya dengan mengatur nafas. Maka saat berteriak, berarti rasa sakit yang disebabkan oleh dorongan bayi sudah berlipat. Benar saja, perkiraan suster tadi tidak tepat. Ketika tidak ada orang di dalam ruangan, saya melihat sejumput kepala mulai keluar. Dengan tergopoh-gopoh, saya pun keluar mencari suster. Mereka lalu sadar bahwa waktu sedang berjalan sangat cepat. Tak lama berselang, seorang dokter pengganti masuk ruangan. Tapi sepertiga dari kepala bayi sudah keluar dari rahim bunda. Para petugas rumah sakit tidak lagi punya waktu untuk persiapan. Apalagi untuk meletakkan alat-alat dengan manis dan rapi di atas meja dorong. Apalagi untuk memasang penyangga kaki dan meletakkan sebuah kursi di ujung ranjang. Begitu melihat sang bayi sudah tidak sabaran ingin keluar, dokter bergegas memegang kepalanya dan mengatur proses keluarnya bayi. Beberapa kali istri saya diminta menahan. Saya melihat dokter cukup kesulitan, mungkin karena posisinya ada di samping ranjang, bukan persis di ujungnya. Namun Alhamdulillah, semua berjalan lancar, sang bayi keluar dengan sempurna dan menangis dengan indahnya. Hati saya pun lega, dan mulut ini tak henti-henti mengucapkan "Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illalah wallahu akbar". Langsung Disunat Sore harinya, pihak rumah sakit memberitahukan kami bahwa saluran kencing anak saya kurang lancar sehingga disarankan untuk disunat. Saya cukup kaget mendengarnya. Apalagi saat harus membayangkan proses sunat terhadap bayi berusia satu hari. Tidak tega rasanya. Tapi setelah mendapat penjelasan lengkap dari suster dan dokter, saya pun memantapkan hati untuk menyegerakan proses yang biasanya dialami pria di usia lima atau enam tahun. Pertimbangan utama adalah adanya penyumbat di dalam katup yang menghambat keluarnya air seni. Bila ini dibiarkan, bisa mengakibatkan penyakit ginjal dan sebagainya. Kurang lebih sama efeknya dengan orang yang biasa menunda buang air kecil sehingga pembuangan jadi tertahan. Apalagi setelah saya berkonsultasi dengan kakak yang putranya punya kasus yang sama. Menurutnya, sebaiknya langsung disunat karena proses penyembuhannya lebih cepat. "Kalau sudah bisa tengkurep, jadi tambah repot, Dar," demikian anjuran sang kakak di ujung telepon sana. Tapi kalau disunat lebih cepat, demikian dokter, prosesnya penyembuhannya sekitar 2-4 hari. Kalau kencing jangan diberi air, cukup dibersihkan dengan tisu lalu diberi minyak kelapa agar tidak lengket. Saya pun semakin mantap. Kendati harus menahan ngeri saat gunting dokter memotong ujung monasnya, saya yakin ini yang terbaik untuk Kahla. Dan syukur Alhamdulillah, saat ini lukanya sudah sembuh dan dia sudah bisa dimandikan dengan air seperti biasa. Merujuk ke proses persalinannya yang mandiri (sudah keluar sebelum dokter datang), dan langsung disunat di usia sehari, saya pun memberinya nama Kahla Ramdhan Zulkarnaen Putra. Harapan saya, dia kelak menjadi anak yang dewasa, matang dalam bertindak dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Dan tentunya menjadi anak soleh, kebanggaan orang tuanya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H