[caption id="attachment_174273" align="alignright" width="200" caption="Goenawan Mohammad saat menerima Achmad Bakrie Award, Agustus 2004 (http://www.freedom-institute.org)"][/caption] Saat warga Jakarta merayakan ulang tahun ibukota tanah air tercinta, tokoh pers dan budayawan Goenawan Mohammad, Selasa (22/6), resmi mengembalikan Achmad Bakrie Award berikut hadiah uang sebesar Rp 100 juta (berikut bunganya Rp 54 juta) yang dia terima tahun 2004. Sikap tegas GM, begitu dia kerap disapa, memunculkan banyak catatan yang menurut saya layak diperbincangkan, setidaknya untuk sekali lagi melihat apa yang sedang terjadi di dunia bisnis dan politik negeri ini. Mengapa dua ranah ini menjadi sorotan, karena alasan GM mengembalikan penghargaan tersebut, demikian KOMPAS.com, didorong oleh kekecewaannya terhadap Aburizal Bakrie sebagai tokoh bisnis dan politik. Dua dunia ini, begitu disandingkan dengan nama Aburizal Bakrie, seakan menjadi satu kesatuan. Ical adalah pebisnis yang punya kekuatan politik besar atau politisi yang memiliki gurita bisnis. Sebagai politisi, kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar adalah sebuah pencapaian maksimal. Begitu halnya di dunia bisnis. Konglomerat properti, pertambangan, energi dan media ini adalah salah seorang pengusaha terkaya di Indonesia. Dalam keterangan resminya, GM menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Ical tidak sesuai dengan nilai yang mengendap erat dalam sebongkah piala yang diterimanya enam tahun lalu. "Saya tak dapat meredakan rasa kecewa saya kepada saudara Aburizal Bakrie karena hal-hal yang dia lakukan selama ini. Semula saya berusaha untuk memisahkan Bakrie Award dari apa yang dijalankannya sebagai tokoh bisnis dan politik. Tetapi makin lama pemisahan ini semakin mustahil karena saya melihat ada diskrepansi bahkan kontradiksi yang makin membesar," paparnya. Perbuatan Ical yang mengecewakan itu berakumulasi mulai dari kasus lumpur Lapindo yang telah menyengsarakan masyarakat Sidoarjo khususnya para korban sampai kasus Bank Century yang akhirnya 'berhasil' menyingkirkan Sri Mulyani Indrawati tidak hanya dari Departemen Keuangan tapi juga dari negeri tercinta. Belum lagi kasus pengemplangan pajak yang melibatkan tiga perusahaan Bakrie, termasuk PT Kaltim Prima Coal (KPC). Meskipun mafia pajak kawakan Gayus Tambunan telah mengakui ikut merekayasa pembayaran pajak KPC, tapi sengketa pajak Rp 1,5 triliun itu akhirnya dimenangkan oleh Bakrie. Pengembalian Award yang diberikan setiap tahun ini membawa pesan bahwa Aburizal Bakrie bersalah dalam banyak kasus yang melibatkan namanya. Dan GM sebagai seorang tokoh pers tidak ingin meletakkan Bakrie Award di rumahnya sambil terus mengetahui kenyataan bahwa pemberinya adalah orang yang tidak menjalankan nilai-nilai luhur sebagaimana disematkan ke dalam penghargaan tersebut. Mengapa Dikembalikan? Tapi pesan yang ingin disampaikan oleh GM tidak mudah dipahami, setidaknya untuk saya yang melihat dua hal ini (Achmad Bakrie Award dan Aburizal Bakrie) benar-benar berbeda dan terpisah satu sama lain. Penghargaan Achmad Bakrie adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh Freedom Institute, LSM bentukan Rizal Mallarangeng. Nama penghargaan ini merujuk pada ayah Aburizal Bakrie yang juga dikenal sebagai pengusaha seperti anaknya. Penghargaan ini diberikan untuk lebih mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi kepeloporan di bidang pemikiran sosial-budaya dan kesusastraan. Melihat dari semangat dan sejarahnya, saya melihat penghargaan ini dengan kaca mata "Undzur ma qala wal tandzur man qala" atau "lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan". 'Menghukum' Aburizal dengan mengembalikan penghargaan berinisial ayahnya merupakan satu upaya yang bagus, tapi memelihara lingkungan kondusif di bidang pemikiran juga harus mendapatkan tempat utama di hati seorang GM. Apa jadinya kalau langkah ini dijadikan pegangan dalam menolak segala bentuk kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan rokok yang gencar memberikan penghargaan, beasiswa dan aksi sosial lain hanya karena ingin menghakimi rokok sebagai produk yang mematikan. Dan bagaimana juga dengan perasaan dan harga diri para penerima Achmad Bakrie Award lainnya yang belum dan tidak ikut mengembalikan penghargaan tersebut dengan apapun alasan yang dikemukakan oleh GM. Apakah munculnya polemik terhadap penghargaan, pemberi dan penerimanya ini juga telah dipertimbangkan oleh GM? Menurut saya, sebuah penghargaan yang telah diterima tidak etis untuk dikembalikan. Apalagi kalau penghargaan tersebut diterima dengan tangan terbuka dan tersimpan rapi selama enam tahun lamanya. Biarlah itu menjadi sebuah penghargaan, selama si penerima merasa layak menerimanya dan tidak melanggar nilai-nilai yang dijadikan dasar dalam pemberian penghargaan tersebut. Kalau pun terpaksa mengembalikan, maka sepatutnya hal itu dilakukan pada kesempatan pertama tanpa harus menunggu lama. GM, misalnya, bisa mengembalikannya saat musibah Lumpur Lapindo terjadi tahun 2006 lalu. Atau berbarengan dengan Frans Magnis Suseno yang langsung menolak Achmad Bakrie Award di tahun 2007. Akhirnya, saya menyadari bahwa pemicu penting keputusan GM adalah hasil diskusi Aburizal Bakrie bersama blogger di acara Obrolan Langsat, 1 Juni lalu. Waktu itu, demikian KOMPAS.com, Ical mengungkapkan bahwa dirinya tak merasakan penyesalan mendalam dalam kasus Lumpur Lapindo. Atau mungkin ada muatan politis lain? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H