[caption id="attachment_300678" align="aligncenter" width="589" caption="Saya menyampaikan materi di Rakor Humas Pertamina (Marlow)"][/caption]
Selasa (25/5) siang kemarin, saya menjadi salah seorang nara sumber di acara Rakor Humas Pertamina di Kuta, Bali. Berbeda dengan materi-materi sebelumnya, kali ini saya menyantumkan judul yang cukup mencolok di halaman sampul presentasi: "Welcome to Kompasiana Era".
Materi itu dipersiapkan dalam waktu yang tidak begitu lama, karena kebetulan saya sudah sering mengisi materi seputar media sosial dan jurnalisme warga untuk staf humas di banyak instansi. Mulai dari PMI, Kemenparekraf, Kemenkominfo, Ditjen Pajak, sampai WWF.
Saya cukup percaya diri dengan menjadikan Kompasiana sebagai fokus utama sepanjang paparan. Kebetulan panitia memang meminta saya menjelaskan apa dan bagaimana Kompasiana. Dengan harapan para peserta bisa memanfaatkan produk sosial media buatan Indonesia ini secara maksimal. Panitia memberikan arahan target dan sasaran materi yang cukup jelas. Sejelas arahan yang diberikan untuk Eep Saifullah Fatah yang menjadi pembicara berikutnya (saya menyimak semua paparan Eep karena sangat berguna untuk menambah bobot edukasi politik lewat media sosial yang sedang gencar saya lakukan).
[caption id="attachment_300675" align="aligncenter" width="523" caption="Presentasi sengaja saya buat dalam bahasa Inggris agar bisa dipelajari oleh semua pihak (iskandarjet)"]
Era Kompasiana adalah sebuah era di saat semua masyarakat terhubung ke arus informasi dan media, tidak hanya sebagai pembaca, tapi juga sebagai penyampai berita. Berita tentu tidak melulu berisi peristiwa dan pengalaman, tapi juga perasaan, keluhan dan pendapat. Kurang lebih sama dengan berita di rubrik politik bikinan media massa yang didominasi dengan pendapat, isu dan komentar para narasumber (praktisi maupun pengamat politik). Bedanya, di era Kompasiana, para narasumber tadi bisa langsung menuliskan aspirasinya di media milik mereka masing-masing.
Indonesia sedang berada di era ini. Media sosial tidak hanya digunakan untuk bercakap-cakap atau merinteraksi secara digital. Tapi juga digunakan untuk tujuan dasar dibuatnya sebuah media, yaitu sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Pesan yang dibuat dalam bentuk artikel utuh, yang selama ini hanya dilakoni oleh insan media massa lewat koran, majalah, tabloid, maupun website berita.
Saya melihat produk-produk sejenis Kompasiana mulai menggeliat. Ini adalah pertanda positif. Media massa sudah mulai memberikan ruang terbuka untuk publik. Sekarang sudah ada Indonesiana, Pasang Mata, Citizen6 dan beberapa produk media warga lainnya. Kendati masing-masing punya format dan pengelolaan konten yang berbeda, tapi semangatnya sama: mengembangkan jurnalisme warga dan meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai penyampai informasi (messenger, reporter).
Saya mengawali materi dengan menampilkan berita yang dilansir The Economist, Januari 2011. Artikel berjudul "Social media in Indonesia: Eat, pray, tweet" itu menggambarkan kondisi Indonesia di tengah booming web 3.0 yang ditandai dengan berpindahnya arus data dari komputer ke ponsel. Indonesia adalah negara paling antusias dalam menyambut ledakan produk media sosial. Tercatat sebagai negara pengguna Facebook terbesar keempat dunia, pengguna Twitter terbesar ketiga dunia, dan ibukotanya sempat menjadi kota yang penduduknya paling 'berisik' di Twitter.
Paparan berlanjut ke fenomena crowdsourcing yang meniscayakan peran kerumunan masyarakat luas dalam menghasilkan layanan, ide dan konten. Sumberkerumunan ini kemudian menjadi kekuatan banyak orang yang mampu menuntaskan kebutuhan yang selama ini hanya bisa disediakan oleh spesialis di bidangnya (Jeff Howe, 2006). Mulai dari karya foto, ilmu pengetahuan, sampai penghimpunan dana (fund rising).
Kompasiana adalah satu dari sekian banyak produk crowdsourcing di bidang informasi dan berita. Di sini, semua orang bisa langsung menayangkan berita, opini bahkan karya fiksinya tanpa melewati meja redaksi. Tidak ada editor yang memegang kuasa penayangan. Semua konten langsung tayang begitu tombol 'tayang' ditekan. Lalu untuk memastikan tulisan-tulisan itu (dan produk ini) dikunjungi banyak orang, Kompasiana melakukan moderasi dengan menghapus konten yang melanggar aturan main sambil mengkurasi artikel-artikel berkualitas.