Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menggigil di Rio, Sauna di Dubai

25 Juli 2014   20:20 Diperbarui: 22 Januari 2016   00:07 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316758" align="aligncenter" width="600" caption="Pasar Tua Bur Dubai ini jadi saksi bisu saat saya dan Kang Ali makan takjil sambil sauna. (iskandarjet)"][/caption]

Waktu Maghrib sudah lewat beberapa menit. Perut yang baru saja diisi dengan takjil samosa dan dua botol jus kembali memompa peluh keringat, meningkatkan kelembaban di balik kaos polo yang saya pakai. Penganan khas Dubai yang beredar hanya di bulan Ramadhan itu lebih dari cukup untuk mengembalikan energi yang terkuras sepanjang hari.

Saya dan Kang Mukti Ali menguatkan langkah menuju masjid terdekat. Sebuah Masjid Raya yang terletak di jalan Ali bin Abi Taleb, Dubai. Yang pertama kita lakukan adalah mengambil air wudhu untuk shalat Maghrib. Saat beberapa anggota badan disiram air, kepenatan sepanjang hari berangsur hilang, tapi badan ini masih terasa lengket, basah dan gerah gak karuan.

Dan begitu pintu masjid itu dibuka...

Huuuusshh. Terjangan angin dari pendingin masjid itu sangat, benar-benar terasa sangat, menyejukkan. Sejenak saya lupa betapa panas dan lembabnya udara kota gurun ini.

[caption id="attachment_316759" align="aligncenter" width="600" caption="Kue Samosa dan jus jeruk dalam kemasan ini jadi penyangga perut sekaligus penambah peluh keringat. (iskandarjet)"]

1406263649243317684
1406263649243317684
[/caption]

***

Sejujurnya, tidak mudah menemukan masjid besar yang menaranya menjulang di belakang satu-satunya kuil Hindu yang berdiri tepat di pinggir anak sungai. Saya dan Kang Ali benar-benar butuh tenaga ekstra menuju ke sana, lantaran kaki ini, sesaat setelah waktu berbuka tiba, masih berpijak di lorong pasar tua Bur Dubai yang berada di sepanjang anak sungai Dubai (Dubai Creek).

Keringat sudah bercucuran dari sekujur tubuh. Saya perhatikan kedua tangan bermandikan keringat. Lalu saya ambil ponsel untuk mengabadikannya. Sore itu, ketika azan Maghrib bergema, tiba-tiba saya menemukan diri ini berada di pasar tua yang menjadi salah satu obyek wisata kota Dubai.

Ya, pasar tua itu sebenarnya punya banyak cerita dan kios-kios tua dengan papan nama yang khas bersiap menceritakan legendanya. Tapi Jumat (18/7) sore itu, saya sama sekali tidak menikmati kota tua Dubai. Yang saya 'nikmati' adalah sebuah wisata sauna dengan tingkat kelembaban yang begitu sempurna ditambah suhu udara mencapai 38 derajat celsius.

Saya merasakan perbedaan kontras saat pertama kali keluar dari bandara Dubai. Sungguh, apa yang terjadi di tanah gurun ini, tidak bisa Anda ceritakan kalah hanya melihatnya dari balik jendela pesawat, atau dari dalam bandara internasional Dubai yang dikenal sebagai salah satu bandara tersibuk dunia.

Itulah sebabnya saya 'memaksakan diri' untuk transit sehari di Dubai. Dengan merogoh kantong sendiri untuk mengubah jadwal penerbangan Dubai-Jakarta dan mengurus visa Dubai, saya pun akhirnya bisa bermalam di Timur-Tengah. Dan kota gurun pertama yang saya tempati adalah sebuah kota modern yang pemerintahnya berani mengubah tanah tandus menjadi asset properti bernilai tinggi.

Jelas perlu keberanian lebih dan investasi berlipat untuk mewujudkan. Tapi kota kecil ini akhirnya menjadi buah bibir para selebriti dan orang-orang sejagad, karena punya banyak ikon properti kelas dunia, seperti Palm Island (pulau buatan berbentuk pohon Palm), Burj al Arab yang dibangun di atas laut, lalu terakhir adalah menara tertinggi dunia, Burj al Khalifa, yang memiliki bangunan tanpa penyangga setinggi 828 meter.

Tapi jalan-jalan ke Dubai di musim panas tentu bukan pilihan yang baik. Waktu itu saya masih 'beruntung' karena suhu udara tidak seekstrem hari-hari sebelumnya yang panasnya mencapai 45 derajat celsius. Sebenarnya suhu panas tidak terlalu mengganggu, karena saya pernah jalan-jalan keliling tujuh negara bagian Amerika Serikat di saat puncak musim panas. Yang menjadi kendala seharian di Dubai adalah lembabnya udara.

Ini sangat kontras dengan kondisi udara selama dua minggu di Brasil. Kebetulan di sana sedang musim dingin, tapi kondisinya matahari sering bersinar cerah. Rio benar-benar jadi tempat ideal untuk berwisata: Pantai yang indah, udara yang dingin, matahari yang bulat. Lebih kontras lagi dengan kondisi di Sao Paulo yang udaranya lebih dingin dari Rio dan lebih banyak diguyur hujan.

Saya sampai menggigil saat menyaksikan pertandingan semifinal yang mempermalukan Brasil 1-7 di lapangan sekolah samba Vai-vai.

Selama di kota Rio de Janeiro dan Sao Paulo, saya terbiasa berjalan kaki hingga tiga kilometer, dalam kondisi puasa. Tapi tidak ada keluhan haus atau letih yang merepotkan. Tapi begitu berjalan dari stasiun al Ghubaiba menuju Dubai Creek, saya sudah ngos-ngosan di sepertiga jalan. Walhasil, trik yang saya dan Kang Ali lakukan adalah sesering mungkin mampir di toko sepanjang jalan. Bukan untuk belanja, tapi untuk 'mendinginkan badan' dan menetralisir pernafasan.

Sebelum mulai berpetualang selepas Jumatan, Kang Danny Apriliadi, warga Bandung yang sudah tujuh tahun bekerja di Dubai, sudah mewanti-wanti apa yang akan saya alami di jalan. "Kang Is pasti nanti ngos-ngosan deh," katanya. Bukan karena faktor panasnya, tapi lebih karena faktor lembabnya.

[caption id="attachment_316760" align="aligncenter" width="600" caption="Kuil ini merupakan satu-satunya tempat ummat Hindu di Dubai beribadah. Lokasinya di pinggir Anak Sungai Dubai, di belakangnya ada Masjid Raya tempat saya shalat maghrib usai takjil. (iskandarjet)"]

1406263767515930536
1406263767515930536
[/caption]

Dan benar saja. Menyusuri jalan-jalan di Dubai di musim seperti itu seperti sedang berada di ruang hampa udara, berjuang mendapatkan udara segar sehingga nafas tak beraturan dan badan jadi cepat letih.

Saat saya tanyakan ke Kang Ali kapan udara akan mulai dingin, dia bilang, "Malam pun udaranya sama, bang Isjet." Dan lagi-lagi saya merasakannya. Udara Dubai tak kunjung bersahabat, padahal saat saya berjalan kaki pulang ke tempat penginapan di daerah Karamah, jam di iPhone sudah menujukkan pukul 01.30 dini hari.

Tapi saya menikmati betul seharian di Dubai. Dengan segala kemegahan gedung-gedungnya. Dan keteraturan kotanya. Meskipun sepanjang hari, mulai dari pertama kali dijemput Kang Ali dan Pak Dadang setiba di bandara, sampai kembali lagi ke bandara untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, udaranya tidak kunjung berhenti menguras keringat, saya ingin datang lagi. Mengungkap keajaiban yang ditawarkan kota di dunia lain ini. Dan melihat dari dekat arti kemegahan dunia di atas tanah yang sejatinya jauh dari kemegahan alamiah.

Dan kalau kamu sedang transit di bandara ini, tidak ada salahnya mampir sebentar, hitung-hitung merasakan sensasi sauna di Dubai. Pilihannya ada dua: Berharap pesawat telat sehingga dapat kompensasi stay 8 jam di kota, atau meniatkan diri menginap di sana seperti saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun