Itulah sebabnya saya 'memaksakan diri' untuk transit sehari di Dubai. Dengan merogoh kantong sendiri untuk mengubah jadwal penerbangan Dubai-Jakarta dan mengurus visa Dubai, saya pun akhirnya bisa bermalam di Timur-Tengah. Dan kota gurun pertama yang saya tempati adalah sebuah kota modern yang pemerintahnya berani mengubah tanah tandus menjadi asset properti bernilai tinggi.
Jelas perlu keberanian lebih dan investasi berlipat untuk mewujudkan. Tapi kota kecil ini akhirnya menjadi buah bibir para selebriti dan orang-orang sejagad, karena punya banyak ikon properti kelas dunia, seperti Palm Island (pulau buatan berbentuk pohon Palm), Burj al Arab yang dibangun di atas laut, lalu terakhir adalah menara tertinggi dunia, Burj al Khalifa, yang memiliki bangunan tanpa penyangga setinggi 828 meter.
Tapi jalan-jalan ke Dubai di musim panas tentu bukan pilihan yang baik. Waktu itu saya masih 'beruntung' karena suhu udara tidak seekstrem hari-hari sebelumnya yang panasnya mencapai 45 derajat celsius. Sebenarnya suhu panas tidak terlalu mengganggu, karena saya pernah jalan-jalan keliling tujuh negara bagian Amerika Serikat di saat puncak musim panas. Yang menjadi kendala seharian di Dubai adalah lembabnya udara.
Ini sangat kontras dengan kondisi udara selama dua minggu di Brasil. Kebetulan di sana sedang musim dingin, tapi kondisinya matahari sering bersinar cerah. Rio benar-benar jadi tempat ideal untuk berwisata: Pantai yang indah, udara yang dingin, matahari yang bulat. Lebih kontras lagi dengan kondisi di Sao Paulo yang udaranya lebih dingin dari Rio dan lebih banyak diguyur hujan.
Selama di kota Rio de Janeiro dan Sao Paulo, saya terbiasa berjalan kaki hingga tiga kilometer, dalam kondisi puasa. Tapi tidak ada keluhan haus atau letih yang merepotkan. Tapi begitu berjalan dari stasiun al Ghubaiba menuju Dubai Creek, saya sudah ngos-ngosan di sepertiga jalan. Walhasil, trik yang saya dan Kang Ali lakukan adalah sesering mungkin mampir di toko sepanjang jalan. Bukan untuk belanja, tapi untuk 'mendinginkan badan' dan menetralisir pernafasan.
Sebelum mulai berpetualang selepas Jumatan, Kang Danny Apriliadi, warga Bandung yang sudah tujuh tahun bekerja di Dubai, sudah mewanti-wanti apa yang akan saya alami di jalan. "Kang Is pasti nanti ngos-ngosan deh," katanya. Bukan karena faktor panasnya, tapi lebih karena faktor lembabnya.
[caption id="attachment_316760" align="aligncenter" width="600" caption="Kuil ini merupakan satu-satunya tempat ummat Hindu di Dubai beribadah. Lokasinya di pinggir Anak Sungai Dubai, di belakangnya ada Masjid Raya tempat saya shalat maghrib usai takjil. (iskandarjet)"]
Dan benar saja. Menyusuri jalan-jalan di Dubai di musim seperti itu seperti sedang berada di ruang hampa udara, berjuang mendapatkan udara segar sehingga nafas tak beraturan dan badan jadi cepat letih.
Saat saya tanyakan ke Kang Ali kapan udara akan mulai dingin, dia bilang, "Malam pun udaranya sama, bang Isjet." Dan lagi-lagi saya merasakannya. Udara Dubai tak kunjung bersahabat, padahal saat saya berjalan kaki pulang ke tempat penginapan di daerah Karamah, jam di iPhone sudah menujukkan pukul 01.30 dini hari.
Tapi saya menikmati betul seharian di Dubai. Dengan segala kemegahan gedung-gedungnya. Dan keteraturan kotanya. Meskipun sepanjang hari, mulai dari pertama kali dijemput Kang Ali dan Pak Dadang setiba di bandara, sampai kembali lagi ke bandara untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, udaranya tidak kunjung berhenti menguras keringat, saya ingin datang lagi. Mengungkap keajaiban yang ditawarkan kota di dunia lain ini. Dan melihat dari dekat arti kemegahan dunia di atas tanah yang sejatinya jauh dari kemegahan alamiah.