[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Anak-anak mandi bareng kakeknya. (iskandarjet)"][/caption]
Saya masih berpikir keras menemukan jawabannya, kapan terakhir kali datang ke tempat wisata Ciater. Yang pasti sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Atau boleh jadi lebih lama dari itu, saat masih duduk di bangku SD. Saking lamanya, saya sempat ragu dan bertanya ke petugas di loket, apa benar ini tempat pemandian air hangat yang terkenal itu.
“Tepat pemandian ada satu lagi, Pak. Tapi yang paling besar cuma ini,” jelas si petugas, yang membuat saya yakin tidak salah tempat dan langsung membeli tiket masuk 30 ribu rupiah per kepala plus biaya parkir mobil 25 ribu rupiah.
Memori yang terekam di batok kepala ini sama sekali berbeda dengan apa yang saya temukan saat berkunjung ke Sari Ater, hari Minggu (4/1) lalu. Nama Sari Ater pun tidak terekam dalam ingatan. Begitu masuk, sepanjang mata memandang berjajar kios pedagang suvenir dan makanan. Bahkan areal wisata ini sudah jauh lebih luas dari sebelumnya. Mobil saya diarahkan untuk menuju Parkir Timur yang lokasinya lumayan jauh dari pintu masuk mobil.
[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Selfie abis mandi (iskandarjet)"]
Saat berada di dalam areal wisata, lagi-lagi saya jadi gagap ingatan. Tidak ada lagi jalan berbatu naik-turun seperti dulu. Mungkin karena saya masuk lewat pintu belakang, sehingga suasana sama sekali berbeda. Dulu, tidak ada yang namanya rumah hantu atau sinema 4D di areal ini. Juga tidak ada sekian kolom renang dengan harga yang bervariasi. Dulu, seingat saya, yang ada hanya satu areal pemandian alami dengan air terjun mini di beberapa sudut.
Lalu saya melihat ada wahana bebek-bebekan di sebuah kolam buatan. Banyak pengunjung yang menikmatinya. Setelah berjalan sedikit naik ke atas, saya mulai menemukan aliran sungai yang saya cari-cari. Tapi ini jelas beda dengan yang dulu. Di semua pinggir anak sungai itu sudah tergelar tikar-tikar yang disewakan. Entah oleh pihak pengelola atau oleh warga setempat. Harganya lumayan mahal, satu areal sedang berisi empat tikar di pinggir kali dihargai 100 ribu rupiah. Walhasil, tikar portabel yang saya bawa tidak terpakai sama sekali karena tidak ada lagi areal kosong yang bisa digelari tikar.
Setelah sekian lama menemani anak-anak berendam di sana, saya baru menyadari bahwa airnya berasal dari kolam besar tempat bebek-bebekan tadi. Pantas saja airnya lumayan keruh kotor. Tapi lumayan mengasyikkan karena suhu air hangat meski tidak sehangat (atau sepanas) dulu. Bau belerang pun sudah tidak tercium, kalah dengan aroma tidak sedap dari sampah-sampah di banyak sudut gelaran tikar.
[caption id="attachment_345343" align="aligncenter" width="600" caption="Kahla main air bareng neneknya. (iskandarjet)"]
Saya tidak begitu peduli apakah khasiat air yang tidak panas ini masih semanjur dulu. Tapi yang saya pedulikan adalah saat menyadari ada banyak sekali sejenis cacing darah atau bloodworm yang hidup dan bergerak mengikuti aliran air. Semula saya menduga jumlahnya sedikit. Tapi setelah saya amati, di setiap debit air yang mengalir deras dari kolam selalu ada cacing kecil yang berkelompok.
Setelah tahu badan ini dikelilingi makanan ikan tadi, saya bergegas naik ke atas dan membersihkan diri sebersih-bersihnya di kamar bilas. Pakaian dalam yang saya kenakan langsung saya copot, di sana menempel beberapa cacing yang bikin trauma. Segera saja saya bilas untuk memastikan tidak ada cacing yang ikut terbawa pulang ke Jakarta.
Setelah selesai membersihkan diri, saya balik ke pinggir kali. Anak-anak sudah berdandan rapi, saatnya istri saya berendam. Sebelumnya memang sudah direncanakan seperti itu. Istri saya baru bisa turun setelah anak-anak puas main air.
“Enggak jadi berendam, Ma?” tanya saya.
“Enggak ah, Mama geli banyak cacingnya,” jawabnya singkat.
“Tau dari mana?”
“Ya lihat sendirilah. Banyak banget gitu.”
Ya sudah, saya tidak memaksa lebih lanjut. Saya sendiri, kalau dari awal tahu banyak cacing di sana, mungkin memilih untuk tidak turun ke air. Atau malah tidak mengizinkan sama sekali anak-anak turun apalagi berlama-lama di sana.
Setelah itu, di tengah rintik hujan, saya ngobrol dengan penyewa tikar.
Pria yang seumuran dengan saya ini mengakui suasana Ciater sudah jauh berbeda dibandingkan dulu. “Dulu memang cuma ada satu tempat pemandian di bagian pintu utama, Mas,” katanya sambil menunjuk ke arah pintu masuk barat.
Lalu saya tanya apakah air di kolam renang sama kotornya dengan di kali, dia jawab beda. “Kalau yang di kolam renang airnya (dialiri) lewat pipa.”
Lalu saya merapat ke pagar kolam renang, dan memang airnya sangat bersih, saya yakin tidak ada cacing-cacing merah sepanjang satu ruas kelingking yang beredar di sana.
“Wah, kalau tahu mending saya mandi di kolam ya,” saya menyambut keterangannya dengan nada datar. Gak apa-apa deh bayar lagi 27 ribu. Tapi airnya bersih dan gak bikin geli, kata saya dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H