Pernyataannya : “Sikap dasar saya: Bukan Sunni, Bukan Syii tp hanya seorang Muslim (Islamy).Ini sebenarnya berangkat dari awal sejarah Islam, selama masih belum ada warna warni paham dan kelompok yang menjustifikasi Islam menjadi milik kelompok masing masing yang saling mengklaim ; “ana minnaa wantum minkum” adalah sebuah agama yang tegak diatas golongan yang menyempitkan kata “rahmatan Lil ‘alamin”. Sehingga terobosan beliau, Islam harus kembali pada awal sejarah, hanya satu kata Islam dengan Wihdatul kalimat dalam memperjuangkan islam. Jika mungkin perbedaan yang menyebabkan terjadinya jurang pemisah, setidaknya harus bisa diselesaikan dalam bentuk musyawarah, tanpa ada skat “Ana khairan Minhu”.
Ucapannya beliau Juga ;”Sunnah dan Syiah adalah produk sejarah pasca masa Rasulullah, yg berpangkal pada persoalan politik, namun berubah menjadi teoligis”. Memang munculnya kata Sunni dan Syiah tidak terlepas dari pada fenomena sejarah Islam yang terus berkembang, akibat fluktuasi pemikiran yang tidak bisa di cegah sehingga menghasilkan ragam warna pemikiran yang semestinya tidak terjadi. Kontruksi khilafah yang di bangun pada waktu itu merupakan awal sejarah yang memicu klaim klaim paling berhak memimpin, misalnya siapa pasca Rasulullah yang paling berhak. Artinya secara teoritis tidak ada yang menolak khilafah, hanya siapa yang paling berhak memimpin khilafah, apakah sitem Imamiyah yang hanya berdasarkan darah kekelurgaan yang disebut Ahlul bait. Atau Quraisy, tanpa mengikat dengan darah Ahlul bait. Sikap Bapak Din menanggapi dua kutub pemikiran yang berbeda, lebih tertuju dengan titik beratnya “Wihdatul Ummah dan Wihdatul Kalimah”. Tanpa ada lagi kelas kelas perbedaan yang menjurus pada saling klaim, dan intimidasi.
Ujarnya lagi :”Terkait konflik Sunni-Syiah, saya hanya menginginkan umat Islam baik di tingkat dunia dan khususnya di Indonesia tdk terlibat dlm perpecahan”.Terkesan ucapan yang layak diucapkan oleh seorang tokoh atau pemimpin Umat islam. Kepedulian yang luar biasa guna menyatukan umat Islam, sehingga hanya satu kata dan tindakan yang keluar dari Umat Islam dalam menghadapi tantangan global, terlebih zaman kita ini adalah zaman fitnah yang menghendaki bangunan Islam runtuh berkeping keping, atau dunia tanpa Islam. Sedangkan di tubuh sunni sendiri terjadi disgradasi nilai nilai luhur Islam, dan hanya serpihan serpihan paham yang saling menghempaskan diri dalam klaim antipati tanpa ada keinginan membangun dialogis yang di mungkinkan bisa menghasilkan tindakan positif mengelak dari perpecahan.
Juga beliau ujarnya : “Saya meyakini.ada skenario global dari musuh2 Islam yg sdg menciptakan a proxy war dgn memperhadapkan negara2 Islam, dan kemudian Sunni-Syiah. Tidak bisa di pungkiri lagi kenyataan itu sudah terjadi, a proxy war itu memang tidak dapat di bendung, belum lagi ketergantungan negara negara islam pada aliansi ekonomi dunia yang dikuasai orang diluar Islam makin membuka peluang Islam menjadi bisnis setiap golongan manusia yang tidak beradab, dengan sekedar Sebutan “Ekstrimis atau Teroris”, bahkan menjadi kampanye negara negara barat dalam membangun demokrasi mereka. Apa yang tidak menimpa negara negara Islam dari skenario global telah membutakan mata umat Islam untuk bersatu.
Dari aliran politis menjadi aliran teologis, adalah sebuah benturan agama yang paling keras dalam rangka menghancurkan Islam, sedangkan di sisi lain ada apatisme yang menyangsikan agamanya sendiri, karena sudah tidak ada lagi toleransi antar golongan Islam, menjadi lebih sulit menunjuk Islam, siapa yang layak menjadi pemimpin. Adalah sebuah kemandulan berpikir dan kontribusi dari perpecahan dan mazhab pemikiran yang melahirkan saling anti, sehingga Umat islam tidak percaya umatnya. Ironi, kwalitas yang tanpa makna.
Komentar beliau juga :”Sikap saya berorientasi stratak (strategis-taktis), bukan teologis, yakni mengedepankan strategi kebangkitan dan kemajuan peradaban Islam, yg meniacayakan persatuan, menghindari perpecahan umat.”. Sebagaimana yang di tulis beliau harus menempuh jalan stratak atau harus lebih diplomatif yang di asaskan pada koneksitas nilai nilai luhur agama, memandang kebangkitan Islam berkemajuan sebagai sesuatu yang wajib dan fadhu ‘ain, meniti sejarah awal Islam yang menyatukan umat tauhid dengan tetap berpijak pada nilai nilai kemanusia sebagai bagian penting dalam Islam. Membangun peradaban Islam sebagai kontruksi yang bisa melindungi umat Islam dan umat lainnya, tanpa ada lagi sengketa antar Islam dan antara Islam dan lainnya, hanya satu peradapan manusia yang paling beradab di dunia, tanpa desingan peluru dan kejahatan memangsa antara sesama umat.
Kalau bisa menghindar dari perpecahan, menghindarlah sejauh mungkin , itu kata beliau dari SMS terakhirnya :”Terlalu banyak agenda peradaban Islam yg harus dilaksanakan, maka umat Islam jgn mau diadudomba”.Kalau kita hanya bisa menghabiskan energi untuk tetap berpecah belah, tidak akan pernah ada bangunan peradaban yang menjadi cita cita Islam itu sendiri, tetapi yang ada ankara kesombongan dinasti pemikiran mazhab yang memacah belah umat, bukan saja Syiah , sunni atau wahabi, tetapi antar mazhab dan pendukunya yang ada. Sudah selayaknya hanya ada Quran dan Sunah [ Hadits ] sebagai pedoman umat Islam dalam menyatukan umat, bukan legetimasi kelompok kelompk yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H