Kau tawarkan dirimu di meja meja tenaga kerja, hingga menjejakkan kaki, menapak tilas, menawarkan iklan iklan tanpa alas kaki, saat hidungku berdarah, karena infeksi. Aku iba, menangis dalam hati dengan menyebut " mana Tuhanku". Keluhlah lidah dengan untaian doa nabi nabi Allah.
Akupun bertekad, menempuh lintas lintas jalan kehidupan, menawarkan bukti bukti pendidikanmu, sambil hati memelas pada Tuhan, Tuhan dimana Kau, aku mendambakan kasih sayangmu, sambil erat menempelkan kening ke bumi-Nya. Kau Istriku, banyak dongeng sedih hati ini yang tak bisa diungkapkan padamu, karena sulitnya alam yang kutempuh. Kau Ingat saat mengungsi ke Panti, karena bekal kita dan nasib yang terpaut pada sisa sisa kehidupan orang lain. Di depannya aku mengeluh dan tak sanggup menatap mukanya, dan kau tak tau itu. sedangkan kau Asyik dengan jiwamu semasa main petak umpet di kampungmu.
"Aku" dengan selaksa tanggung jawab, masih terus mendaur ulang dan mengasah cita cita yang kandas, kendati hatiku terlalau perih dan sulit diungkap. Tapak tapak jalan kutempuh lunglai, sambil melepas rana di hati, dengan memaksa diri. sedangkan kau hanya bisa meratapi nasibmu, sibuk berlomba dan merebut kasih sayangku, dan kau tak perduli aku berkelana dalam kesedihanku."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H