Kebiasaan yang salah dan teroganiser adalah soal Idul Fitri, umum diterjemahkan salah oleh para tokoh umat dengan makna makna yang kontra Islami. Dalam sudut pandang yang salah, kata Idul fitri sering diartikan "Hari kemenangan", umum dan membias dari mulut ke mulut para ustad yang kurang refrensi pengetahuan tentang agama. atau mereka terperosok pada doktrin umum, yang mengenal "idul fitri" dengan makna "hari kemenangan".
Kata kata itu berpuluh puluh tahun dipertahankan sebagai kalimat "lumrah", menjadi kamus baru yang salah dan berkembang dikalangan umat islam dari masa ke masa. Tanpa di sadari oleh umat Islam, kesalahan arti dan memaknai hari raya dengan "Kemenangan" makin kuat dipertahankan sebagai makna salah yang diagungkan keslahannya oleh banyak orang. Hingga menjadi sebuah dogma yang sulit ditinggalkan, mengartikan " Idul Fitri" menjadi hari kemenangan umat Islam. Untuk menguatkan kalimat tersebut tidak tanggung di kuatkan dengan hadits lemah : " Raja'na minal Jihadil asghar ila jihadil akbar" [kita kembali dari pering kecil untuk menghadapi perang yang besar] adalah hadits yang sangat populer dikalangan Sufi, menjadi ajaran sufistik yang lengket dan identik dengan tapa bhrata ala jawa kuno.
Padahal makna "Idul Fitri" adalah berasar dari :
عيد الفطر عندما يفطر الناس وعيد الاضحي عندما يضحي الناس وشكرا
Kata "idul fitri" itu maksudnya karena orang orang ketika itu sedang berbuka , makan [tak lagi menahan lapar selama mereka puasa ]. Sedangkan makna "idul Adhha" adalah karena orang orang ketika itu berkorban" . Artinya fitri itu identik dengan hari makan minum, melapaskan lapar dan daha selama sebulan suntuk, dengan cara kembali pada habitatnya semua, yaitu makan minum di siang hari.
Kalau kata "Fitri" diartikan "sa'id" [ hari kemenangan, atau kebahagian ] adalah diluar makna yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan. Melainkan usaha orang yang berusaha memalingkan makna sebenarnya pada makna yang salah.
Kewajiban umat Islam menjaga dan melindungi Islam, dari penistaan para penista, dari orang yang sengaja memalingkan makna agama pada retorika akal semata, yang menjauhkan makna asalnya pada makna makana yang membelakangi Islam. Karena menjaga "satu kata saja dalam Islam " sama halnya menjaga Islam itu sendiri. sedangkan perobahan makna sebagaimana yang terjadi dikalangan umat Islam, itu karena kebiasaan yang salah yang dipertahankan secara turun menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H