Mohon tunggu...
Iskandar Idris
Iskandar Idris Mohon Tunggu... -

Senang Menggunakan Baju --> www.kampoengmerdeka.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sendal Jepit Demonstran

18 September 2011   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_131921" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Sendal Jepit Demonstran | gajahilosophy.blogspot.com"][/caption] “Kerapkali sendalku ingin digusur dan dipisahkan dariku oleh pihak birokrasi kampus. Namun itu tidak mengurungkan niatku untuk melepaskan sendal yang telah menjadi saksi setiap demonstrasi dan bahkan telah menjadi pelakunya hingga titik penghabisan” Suara tembakan keudara menandakan adanya kerusuhan mahasiswa yang kira – kira dua jam beradu mulut dengan kepolosian. Tauran dengan aparat kepolisan sudah lumrah bagi kami Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia. Bahkan saya mengangap ini mungkin sudah menjadi agenda tahunan. Para orator ulung bersorak – sorak diatas mobil yang di jara sambil meneriakkan tuntutan keadilan atas pengerusakan sekertariat HMI ( Himpunan Muslim Indonesia ) cabang Makassar yang dilakukan oleh aparat kepolisan. Saya bisa di katakan seorang demonstran ababil saat itu. Bagaimana tidak, setiap ada aksi demonstrasi di depan kampus, awalnya saya tidak bergabung, nanti kalau rusuh barulah ikut bergabung. Tak tau apa yang di tuntut, tak tau rusuh karena apa, dan tak tau siapa yang ingin di serang, pokoknya masuk saja, nanti batu kena kepala barulah berhenti dan tahu ini demontrasi apa. Apeessdah… Ban yang dibakar membuat api menjadi besar dan angkuh. Trik matahari menyengat dan suara – suara teriakan mahasiswa semakin agresif. Saya saat itu ikut terangsang memperjuangkan keadilan, tak akan mundur walau senjata di ledakan hanya lari ke lorong – lorong sebelah saja yang saya akan lakukan, karena di belakang juga ada aparat yang bersiaga. Wah, maaf prolog saya sudah agak melenceng dan kepanjangan padahal disini saya ingin ceritakan tentang Sendal Jepit Demonstran. Yah dialah Sandal Jepit yang sangat saya banggakan. Warnaya putih dan kusam, bahkan sudah menghampiri ke arah warnah kecoklat – coklatan atau bisa dikatakan warna hitam. Padahal warna defaultnya putih,suci dan bersih. Setiap ujungnya telah saya sileti dengan kedalaman 2cm, tak lain sebagai tanda jika sendal itu tertukar seperti “putri yang tertukar”. Walau sebenarnya tanpa diberi tandapun saya bisa tau dari segi aromnya. Karena sejak saya membeli sendal itu 4 tahun lalu, sesekalipun saya tak mencucinya. Aparat kembali menembakkan peluru keudara yang membuat medan demonstrasi semakin memanas. Karena mentalku yang lembek bahkan lebih lembek dari sosis sonais, saya bersama sendal jepitku bergegas lari mencari lorong – lorong terdekat. Saya berusaha mengamankan diri, saya cenat – cenut seperti smash dan bingung mau bersembunyi dimana. Padahal di medan demonstrasi hanya saya melakukan kegiatan konyol ini. kemudian kuhdapkan kepalaku kebawah, ternyata sendalku ikut tertawa. Kurang ajar betul.. Akhirnya saya kembali ke medan yang mencekam. Kuambil sendal yang menertawaiku dan kulemparkan ke arah aparat yang telah berbaris menggunakan tameng. Buuuuukkkk … Mendaratlah dia. Dan saat itu ternyata Mahasiswa yang lain ikut terpancing untuk melempar batu kearah aparat. Dan Alahamdulilah yah, aparat mulai mundur dan kami Mahasiswa kembali menguasai medan. Sendal yang sampai saat ini saya rindukan bahkan telah terdaftar sebagai DPS (Daftar Pencarian Sendal) menjadi pelaku Demonstaran. Tapi terus terang saya sangat sedih karna kehilanganya. 4 tahun saya bersamanya melewati kisah – kisah perjalanan panjang yang bisa kita jadikan sebuah triologi. Bukan karena saya misikin untuk membeli sepatu tapi karena memang saya kere’, sehingga membuat hari – hari kakiku tak merasakan hangatnya belaian sepatu. Jempol kakiku harus pasrah menerima sengat mentari dan lembutnya debu. Kerapkali sendalku ingin digusur dan dipisahkan dariku oleh pihak birokrasi kampus. Namun itu tidak mengurungkan niatku untuk melepaskan sendal yang telah menjadi saksi setiap demonstrasi dan bahkan telah menjadi pelakunya hingga titik penghabisan. Namun apa hendak di kata, ia telah tidak bersama kakiku lagi karna perjuaganya yang hebat. Semoga kelak saya bisa melihat sendal tercecer yang di ujungnya memilki bekas silet sendalam 2 cm, dan itu adalah kamu “Wahai Sendal Jepit Demonstran”. http://kumisjaim.web.id Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun