ASA masyarakat Indonesia untuk mendapatkan  perlindungan  seksual secara komprehensif melalui peraturan perundang-undangan terancam sirna. Padahal tindak kekerasan seksual di Tanah Air sudah sangat meresahkan. Baik berbentuk verbal maupun non verbal.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sejatinya menjadi ujung tombak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru terkesan kurang semangat. Seolah membiarkan keresahan masyarakat menjadi derita masyarakat itu sendiri.
Kasus pemerkosaan terhadap anak, beredarnya video mesum secara masif di media sosial, perkawinan sedarah, perekaman siswi yang tengah di kamar kecil dan masih banyak lagi perbuatan asusila yang beredar luas di masyarakat dibiarkan terjadi begitu saja. Apalagi sampai berharap ada perlindungan bagi si korban serta sanksi maksimal bagi pelaku.
Harapan itu hanya bisa terwujud dalam dunia dongeng. Bukan di Indonesia.
Faktanya, Anggota DPR RI justru tengah membangun penolakan terhadap disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Terutama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan membangun isu partai libral dan non libral.
Partai libral merupakan partai pendukung disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU dan anti Islam. Sedangkan partai penolak RUU tersebut merupakan partai islami yang menolak secara tegas pasal-pasal yang tidak islami.
Polarisasi berbau agama itu sengaja dibuat untuk membangun citra sekaligus dukungan. Mereka berupaya membangun opini bahwa RUU tersebut anti Islam dan sekuler. Mereka meminta masyarakat menolak keberadaan RUU itu.
Ujung dari semua itu adalah keresahan masyarakat. Pemerintah bakal menjadi sasaran tembak karena tak berhasil melindungi warganya dari tindak kekerasan seksual. Demo besar-besaran pun bakal digulirkan untuk merontokkan legitimasi pemerintahan Jokowi.
Dalam teori spiral kekerasan Dom Helder Camara dijelaskan bahwa ada tiga bentuk kekerasan yakni personal, institusional dan struktural, yang bisa berupa ketidakadilan, kerusuhan sosial, dan represi negara.
Kaum penolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sepertinya tengah membangun bom waktu bernama keresahan yang ujungnya kerusuhan sosial. Dengan begitu negara dipaksa untuk berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Melakukan represi guna melindungi kedaulatan negara.
 "Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan," tulis Camara.
*****
Bangga Melihat Reaksi Gus Imin