"Bani, apa yang kau bawa itu. Mengapa kau bawa oleh-oleh buat kami," kata Pendekar Komodo Putih sambil tersenyum.
"Buat apa batu buluk itu Bani," sambung Pendekar Monyet Pelangi.
Yang ditanya hanya menggaruk hidungnya yang tak gatal. Ia sama sekali tak tahu harus menjawab apa.
"Eyang guru, saya tidak tahu benda apa ini. Ini bukan oleh-oleh untuk eyang berdua, saya membawanya karena benda ini seperti memiliki kekuatan gaib," ucapnya.
"Jadi batu buluk itu tidak boleh dijadikan oleh-oleh untuk kami," sergah sang Kakek.
Bukan-bukan begitu eyang, lanjut Baki Bani, batu ini belum terlihat kegunaannya. Bagaimana mungkin dirinya memberikan batu tersebut sebagai buah tangan.
"Kalau eyang berdua menginginkan nyawa saya pasti saya berikan. Saya hanya penasaran apa sesungguhnya batu itu. Barang kali eyang berdua mengetahui apa benda ini," tuturnya.
Mendengar pernyataan Baki Bani, keduanya kompak tertawa. Mereka pun memeluk Baki Bani.
Baki Bani langsung menyerahkan batu buluk tersebut kepada eyang Ninik guru. Ketiganya berjalan menuju gubuk yang letaknya tidak jauh dari Danau Kelimutu.
Melanglang Buana
Pagi itu kabut turun cukup tebal. Bagi orang awam jarak pandang pagi itu pasti kurang dari satu meter. Tapi tidak bagi Baki Bani yang memiliki pengelihatan mata elang. Ia justru terlihat menikmati setiap kabut yang turun.