MENJAWAB kritik lawan politik tak harus dengan menyerang balik, mencari kesalahan ataupun marah-marah. Gaya politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjawab kritik Sandiaga Salahuddin Uno, sangat elegan dan berkelas, patut mendapatkan dua acungan jempol. Â
Tentu kita semua masih ingat bagaimana Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno membandingkan harga makanan di Jakarta dan Singapura.
Suami Nus Asia itu menyebut nasi ayam di Singapura lebih murah dibanding yang dijual di Indonesia. Misalnya saja, di Singapura sepiring chicken rice itu 3,5 dolar (SGD) atau Rp 35 ribu, di sini mungkin bisa Rp 50 ribu.
Informasi tersebut didapat pria lulusan Universitas George Washington dan Wichita State University dari tim ekonomi Prabowo-Sandi yang telah mengumpulkan data dari sejumlah sumber.
Pernyataan Sandiaga tersebut sempat menjadi sorotan media sosial (medsos) dan media-media mainstream. Kebanyakan dari pembaca media tersebut tak setuju dengan pernyataan Sandiaga. Mereka meminta Sandiga berpolitik dengan data, bukan hoaks.
Mengetahui adanya kesalahan data fatal yang diungkapkan Sandiaga, tidak membuat Calon Presiden (Capres) nomor urut 01, Jokowi dan Cawapres KH Ma'ruf Amin menyerang pasangan Capres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Mereka lebih memilih melakukan kerja-kerja nyata ketimbang 'jual beli kata' di media.
Namun, saat Presiden Jokowi bertandang ke Singapura untuk menghadiri pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-33 ASEAN, kemarin. Ia menyempatkan diri menyantap bebek goreng, sayur asam dan tahu-tempe di restoran Bebek Goreng Pak Ndut di Lucky Plaza, Singapura.Â
Sajian Bebek goreng original, lengkap dengan nasi putih dan sambal yang disajikan untuk Jokowi, yakni seharga 9,90 dollar Singapura atau setara Rp99 ribu. Adapun, menu sayur asam-nya yakni seharga 4,5 dollar Singapura atau Rp45 ribu.
Mengetahui nominal makan yang di makan presiden, mengingatkan kita kepada pernyataan Sandiaga soal harga makanan yang lebih murah di Singapura. Sekalipun Presiden Jokowi tak berbicara secara langsung soal itu, namun faktanya makanan di Singapura lebih mahal dari makanan di Indonesia.
Di Indonesia, untuk harga satu potong bebek di restoran hanya dihargai sekitar Rp50 ribu sampai Rp65 ribu. Sedangkan di warung tenda harganya berkisar Rp30 ribu sampai Rp45 ribu. Jadi sangat jauh selisih harga di Indonesia dan Singapura.
Pertanyaanya kenapa Presiden Jokowi memilih makan bebek di restoran ketimbang di hotel ataupun di kedutaan?.
Jawaban sesungguhnya sangat sederhana. Presiden Jokowi memahami betul taktik perang Sun Tzu. Menurut Sun Tzu, 'kenalilah diri dan musuhmu, kau akan tidak diragukan lagi menang dalam seribu pertempuran'. Â
Jokowi sudah sangat mengenal gaya politik Sandiaga yang selalu melebih-lebihkan sesuatu dengan harapan dapat perhatian publik. Sekalipun seringkali penuh drama dan hiperbolik. Gaya politik Sandiaga yang 'lebay' itupun di kelola Jokowi dengan baik.
Jokowi paham benar kalau medsos dan media mainstream telah membandingkan harga makanan di Singapura dan Indonesia. Namun, kurang menyentuh perhatian kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Hasilnya menjadi berbeda dengan pembuktian langsung yang dilakukan Presiden Jokowi. Secara tidak langsung presiden ingin bilang kepada masyarakat Indonesia kalau harga makanan di Indonesia lebih murah loh. Sekalipun restoran tersebut milik orang Indonesia. Â
Seperti kata Sun Tzu, untuk memenangkan pertempuran kita harus dapat memenangkan hati dan pikiran rakyat', 'mengendalikan lumbung musuh' dan 'mengendalikan senjata musuh'.
Gaya politik elegan yang ditampilkan Jokowi mampu memenangkan hati dan pikiran rakyat sekaligus mengendalikan lumbung serangan musuh dan mengendalikan senjata musuh.
Sedangkan Sandiaga lebih menggunakan pendekatan Friedrich Willem Nietzsche atau Nietzche. Ia  mengatakan kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip dari seluruh kehidupan manusia dan alam. Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa ini bisa disebut sebagai kekuatan yang memerintahkan dirinya sendiri, bersifat memerintah dan menaati tanpa mengandaikan pasivitas apapun.
Dalam kehendak untuk berkuasa, tidak ada pihak yang bersifat pasif. Hal ini menurut Nietzsche karena untuk menaati perintah kehendak untuk berkuasa tersebut dibutuhkan kekuatan untuk memerintah diri sendiri.
Kesimpulannya, Sandiaga telah melakukan apa yang dikatakan Nietzche, untuk berkuasa tidak bisa bersifat pasif. Menyerang terus menerus menjadi kunci untuk meraih kekuasan itu sendiri. Tapi Sandiaga lupa kalau seni berpolitik Indonesia pada hekikatnya santun dan penuh ketenangan. Calon yang bisa mengambil hati rakyat itulah yang menang. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H