Fenomena calon tunggal dalam pilkada serentak 2015 menjadi problem penting yang menyita perhatian publik dalam proses demokratisasi pemilihan kepala daerah. Tidak sedikit gugatan dilayangkan kepada pihak penyelenggara karena pelaksanaan pilkada 2015 di beberapa daerah terancam ditunda sampai pilkada serentak tahap kedua tahun 2017 karena hanya ada satu pasangan calon. Yudisial Review terhadap UU Pilkada terkait calon tunggal diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Wacana berkembang di masyarakat, bahwa ditundanya pilkada di satu daerah karena hanya ada satu pasangan calon akan merugikan rakyat karena pembangunan di daerah tersebut akan terhambat. Karena tidak memiliki kepala daerah definitif. Sementara (plt) kepala daerah tidak memiliki wewenang mengesahkan anggaran belanja daerah.
Spekulasi teori berkembang di masyarakat, mulai dari calon tunggal dilawankan dengan bumbung kosong sampai aklamasi. Hal ini untuk tidak menghilangkan hak politik warga negara di beberapa daerah akibat ditundanya pilkada karena hanya ada satu pasangan calon. Di satu daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2015 maka pelaksanaan pilkada mesti dilakukan tahun itu juga karena amanah Undang Undang.
Pemilu Kepala Daerah serentak tahap kedua tahun 2017 akan segera diselenggarakan. Maka, untuk menghindari fenomena calon tunggal kembali berulang, pemerintah mengagendakan Revisi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Revisi UU Pilkada masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas 2016), yang sedianya akan rampung pada Agustus 2016 sehingga pelaksanaan pilkada serentak 2017 sudah mendasarkan pada hasil Revisi UU Pilkada tersebut.
Revisi UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilu Kepala Daerah mengantisipasi beberapa pokok persoalan yang terjadi di pilkada serentak 2015 salah satu diantaranya fenomena calon tunggal. Sehingga usulan-usulan kodifikasi dalam revisi UU Pilkada bertendensi menghilangkan kemungkinan akan adanya calon tunggal.
Beberapa poin usulan kodifikasi oleh KPU diantaranya penghapusan ambang batas pengajuan calon oleh partai partai politik atau gabungan partai politik. Artinya partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mengusung calon kepala daerah, tidak lagi dibatasi minimal 20 persen. Untuk calon perseorangan, syarat dukungan diperkecil sampai minimal 3 persen dari jumlah pemilih.
Sementara Komisi II DPR mengusulkan kodifikasi bahwa calon kepala daerah yang berstatus sebagai anggota legislatif, PNS, TNI, dan Polisi tidak wajib mundur ketika mencalonkan, hanya cuti saja seperti pilkada-pilkada sebelumnya. Berkompetisi dalam pemilu kepala daerah dengan melepaskan jabatan adalah gambling dengan pertaruhan yang cukup besar. Bila seorang legislatif mencalonkan sebagai kepala daerah lalu tidak terpilih dalam pemilu kepala daerah, sudah pasti ia kehilangan jabatan sebelumnya sebagai anggota legislatif.
Dari kodifikasi-kodifikasi tersebut tampak ada kegamangan kemana arah demokratisasi pemilu kepala daerah akan bermuara. Ambang batas yang tinggi dibelakukan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon dimaksudkan agar pemerintahan yang dihasilkan nantinya kongruen antara eksekutif dan legislatif sehingga pemerintahan berjalan efektif. Namun tingginya ambang batas justru menimbulkan persoalan baru adanya calon tunggal. Pada pilkada sebelumnya ambang batas sebesar 15 persen, tahun 2015 menjadi 20 persen, dan pada tahun 2017 kemungkinan tidak akan ada ambang batas.
Bila ambang batas dilihat sebagai faktor pemicu terjadinya calon tunggal maka, menurunkan atau menghapus ambang batas adalah solusi. Tapi bila melihat dari sisi yang lain maka, penurunan ataupun penghapusan ambang batas bukan menjadi solusi. Coba berspekulasi begini, adanya calon tunggal karena petahana yang terlalu kuat (ambil contoh di Kota Surabaya, misalnya) sehingga calon-calon lain tidak ada yang berani mencalonkan. Bukankah kalkulasi dalam pertarungan adalah kalah dan menang? Bila seseorang sudah tahu akan kalah untuk apa dia bertarung. Bila realitas demikian yang menjadi faktor adanya calon tunggal maka seberapa kecil ambang batas bahkan dihapus pun tidak akan menutup kemungkinan adanya calon tunggal.
Lalu coba kita simulasikan bila ambang batas dihapus, partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD boleh mengusung calon. Akan ada berapa calon? Bila semua partai politik mengusung calonnya maka akan ada 10 pasangan calon. Dan, berapa biaya yang harus dihabiskan negara untuk membiayai kampanye masing-masing calon? Bukankah hal ini keluar dari semangat pilkada serentak yang akan mengefektifkan biaya pilkada?
Kemudian soal calon independen. Sedikitnya calon independen yang maju pada pilkada 2015 dilihat sebagai salah satu faktor adanya calon tunggal. Sehingga syarat bagi calon independen diperkecil menjadi 3 persen dari jumlah pemilih. Mari kita berspekulasi lain, kecilnya syarat dukungan bagi calon independen memungkinkan menjadikan calon independen sebagai calon boneka. Simulasinya begini, bila petahana terlalu kuat sehingga tidak ada calon lain yang maju maka petahana bisa saja memasang calon independen sebagai calon boneka untuk menghindari adanya calon tunggal. Hal demikian tentu akan menurunkan kualitas pilkada.