Belakangan ini kita seringkali menyaksikan praktik-praktik ganjil di negeri ini. Kekerasan menjadi hal yang lumrah. Penindasan menjadi hal yang wajar. Pemberangusan hak-hak yang lain dianggap biasa. Ironis kiranya bila demi kemanusaian kita justru menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.
Kebebasan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diagungkan, saat ini, justru mencapai titik balik. Pendulum kebebasan yang diayunkan kini berbalik menghantam dirinya sendiri. Dalam keadaan seperti ini tiba-tiba saja ruang ini terasa semakin sempit. Perbedaan pendapat, kepentingan, selalu diselesaikan dengan amukan dan amarah yang berujung pada kekerasan. Alhasil, perbedaan menjadi hal yang sangat tabu. Humanisme telah bermetamorfosis ke dehumanisme.
Lalu, tidak sedikit dari kita mulai meragukan humanisme yang diusung sejak zaman pencerahan. Bagaimana tidak, kita terlanjur berharap banyak padanya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Namun, toh sampai saat ini kita masih mengais-ngais keadilan dengan keadaan perut kosong. Kebebasan berpendapat dan berekspresi masih dianggap sebagai ancaman bagi pihak lain.
Bukankah Negara meracik ideologi demi ‘kesejahteraan’. Agama merajut makna demi ‘keselamatan’. Bangsa meramu budaya demi ‘kebersamaan’?
Tak diragukan, masing-masing mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi kehidupan dan martabat manusia. Namun untuk menggapai tujuannya mereka rentan menjadi alat represif dengan membenarkan cara-cara yang ganjil. Bukan hanya negara yang dalam praksisnya rentan dijadikan alat represif untuk mencapai tujuan tertentu. Agama pun terbukti juga ampuh sebagai alat represif. Siapa yang menyangsikan kalau agama tidak memuat nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kehidupan? Siapa yang meragukan kalau negara tidak memuat nilai-nilai kesejahteraan bersama?
Tentu, persoalan itu bukan terletak pada nilai-nilai yang dikandungnya. Karena tidak ada satu pun dari mereka memuat nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Persoalannya terletak pada tindakan pencapaian tujuan.
Dalam pencapaian tujuan, tentu, nilai-nilai tersebut diterjemahkan dalam wujud tindakan. Karena tanpa penerjemahan ke dalam suatu tindakan, nilai-nilai itu tak ada gunanya. Kemudian dalam perwujudannya, kelompok tertentu menerjemahkan sebentuk nilai-nilai ke dalam pola tindakan. Penerjemahan-penerjemahan itu dimaksudkan untuk mencapai kebenaran. Karena kebenaran adalah murni, maka kepentingan-kepentingan didesakkan keluar agar tidak memengaruhi tafsiran-tafsiran. Dengan asumsi bila kepentingan tidak hadir dalam penafsiran, maka tafsiran tersebut adalah mutlak benar. Asumsi ini mengandaikan bahwa kebenaran berada ‘di sana’.
Pandangan seperti ini kemudian menunggalkan kebenaran yang lantas mengarah pada absolutisme. Kebenaran tafsiran adalah tunggal. Karenanya tafsiran yang lain adalah sesat.
Selanjutnya, anggapan seperti ini menumbuhkan sikap eksklusivisme, sikap anti dialog. Eksklusivisme tidak memberi ruang pada keberbedaan apalagi kemajemukan. Dengan sikap seperti ini akhirnya keberbedaan dianggap sebagai ancaman. Individu atau kelompok lain yang berbeda adalah ancaman terhadap eksistensi dari kelompok yang satu. Dalam situasi seperti ini masing-masing pihak akan saling mencurigai, tidak ada upaya untuk saling memahami yang lain.
Kebenaran dimaksudkan sebagai suatu pengejaran ontologis, maka untuk mendapatkannya lalu dimunculkan otoritas untuk melakukan hal itu. Semakin tinggi otoritas yang dilegitimasi maka semakin tinggi nilai kebenaran tafsir yang dihasilkan. Hal ini selanjutnya memungkinkan individu atau kelompok merasa berhak melakukan tindakan represif terhadap individu atau kelompok lain yang berbeda penafsiran.
Dalam menafsirkan ideologi negara ataupun teks agama, misalnya, otoritas penafsiran ada pada individu atau kelompok tertentu yang dianggap kapabel dan kompeten dalam hal itu. Otoritas ini akan semakin mendapatkan legitimasinya bila dilembagakan dalam masyarakat. Sehingga tindakan represif dalam menindas dan meminggirkan yang berbeda seolah mendapatkan legitimasi. Dalam hal ini tindakan represif tidak nampak sebagai keganjilan. Keangkuhan nampak sebagai kewajaran. Karena menganggap diri paling legitimit, maka penafsiran yang tidak sesuai dengan seleranya, apalagi mengusik kepentingannya, patut disingkirkan karena merupakan ancaman.