[caption id="attachment_278029" align="aligncenter" width="583" caption="Kristenisasi di Serambi Mekah, Salah Siapa? (Sumber: http://menujubermartabat.files.wordpress.com/2012/12/kristenisasi.jpg)"][/caption]
Awal bulan lalu, Satpol PP dan Wilayatul Hibah (WH) Aceh Barat menggerebek sebuah rumah di jalan Blang Pulo, desa Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Rumah yang digerebek itu diduga sebagai pusat pengendalian aksi misionaris atau upaya pemurtadan warga muslim di wilayah Pantai Barat Aceh. Polisi PP dan WH menangkap 5 orang misionaris dari 12 orang yang diduga melakukan kegiatan pemurtadan agama, dimana diketahui bahwa telah terdapat 2 kelompok muslim yang dibabtis dan dikirim ke Medan. Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) sangat menyayangkan dan prihatin atas peristiwa ini, dimana Aceh yang dikenal sebagai negeri syariah harus mengalami peristiwa seperti ini, oleh karenanya MIUMI sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut.
Melihat peristiwa di atas, sebagai warga muslim tentu saya prihatin atas keadaan tersebut. Mengingat Aceh merupakan "serambi Mekah" dimana Islam di nusantara diyakini masuk dari wilayah ini. Namun keprihatinan saya itu, semakin besar setelah menyadari bahwa syariah Islam yang menjadi salah satu keistimewaan Aceh hanyalah dijadikan slogan atau hanya "trademark" Aceh agar terlihat lebih "bersih" dan islami. Maaf, mungkin ini hanyalah pendapat saya pribadi, namun saya menyatakan hal itu bukan tanpa alasan yang jelas. Di Aceh sejauh pengetahuan saya, tidaklah sebersih yang orang lain kira. Salah seorang sahabat kompasiana sempat menulis dalam sebuah artikelnya berjudul "Prostitusi di Serambi Makkah" oleh Tabrani Yunis yang menggambarkan dengan gamblang kondisi sosial dan moral Aceh yang sangat jauh dari keacehannya. Belum lagi apabila ditinjau dari sudut politik dan birokrasi Aceh kini yang memang sungguh memprihatinkan, dimana para elit Aceh dan partai berkuasa hidup dengan bermewah-mewah, korupsi merajalela, kekuasaan yang diamanahkan dari rakyat Aceh diterjemahkan dalam bentuk teror dan intimidasi demi memaksakan kehendak dan melanggengkan kekuasaan. Sementara itu, figur pemersatu Aceh yang diharapkan, meskipun telah ditunjuk oleh DPRA cenderung menikmati keadaan itu semua dan lalai dalam menjalankan kewajibannya sebagai figur pemersatu. Jika kita melihat dan membaca tujuan dari dibentuknya lembaga Wali Nanggroe salah satunya adalah untuk meninggikan dinul islam, mewujudkan kemakmuran rakyat, menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian. Jelas tergambar bahwa Wali Nanggroe telah gagal dalam menjalankan amanahnya jauh sebelum ia resmi dilantik.
Kembali ke persoalan "kristenisasi", Pasal 28E ayat (2) Â UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Merujuk pada pasal-pasal di atas, kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia yang artinya tidak boleh adanya unsur paksaan untuk memeluk agama tertentu. Persoalannya adalah, bagaimana ketika orang-orang yang telah dibabtis tersebut memilih secara sadar untuk memeluk agama/berpindah agama ke agama yang dibawa oleh para misionaris tersebut? Apakah pelarangan dan penangkapan terhadap para misionaris itu bukanlah merupakan pelanggaran terhadap UUD? dan juga Hak Asasi Manusia?
Bagi saya pribadi, agama merupakan persoalan keyakinan dan pilihan hidup, sehingga tidak boleh dipaksakan oleh siapapun juga, karena agama adalah cara kita untuk "dekat" dengan Sang Pencipta. Persoalan orang terpanggil untuk berpindah agama ke agama lainnya juga perlu dilihat penyebabnya secara adil. Mungkin mereka merasakan adanya ketidakadilan dalam kehidupannya, kemarahan karena kondisi sosialnya, atau mungkin juga karena merasa ketidakhadiran figur yang diharapkan untuk setidaknya memberi kekuatan dan keyakinan terhadap agama yang dipeluknya. Bukankah meninggikan dinul Islam menjadi tugas seorang figur Pemersatu? lalu jika benar, dimanakah ia berada ketika para orang-orang yang "labil" ini membutuhkannya?
Oleh sebab itu, sebaiknya Wali Nanggroe mulai kembali kepada fitrah tugasnya sebagai seorang Wali Aceh untuk melindungi dan menegakkan Islam di Bumi Serambi Mekah dengan meninggalkan berbagai persoalan duniawi dan politik yang membusukkan jiwa dan penuh tipu muslihat untuk selanjutnya kembali kepada tugas utamanya sebagai pemersatu dan penegak dinul Islam di Aceh.
[caption id="attachment_278253" align="alignnone" width="512" caption="Sumber: http://www.flickr.com/photos/atjeh_group/9726698831/"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H