Mohon tunggu...
Iskandar Fasad
Iskandar Fasad Mohon Tunggu... -

freelancer di beberapa media, pemerhati sosial budaya Aceh, penggemar sate matang, pembenci kekerasan dan pelanggar HAM.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Liputan Khusus: Seminar Wali Nanggroe di Banda Aceh

18 Oktober 2012   05:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_204633" align="alignnone" width="645" caption="Seminar Wali Nanggroe 17 Oktober 2012, Hermes Hotel Banda Aceh (DOK. Pribadi)"][/caption]

Kemarin di Hotel Hermes Banda Aceh, terselenggara Seminar Wali Nanggroe yang bertajuk "Qanun Wali Nanggroe Tantangan dan Harapan dalam Pelaksanaan Ke Depan". Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta yang berasal dari para tokoh masyarakat Aceh, budayawan, eksekutif maupun LSM lokal ini membahas masa depan Qanun Wali Nanggroe yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan ZIKIR yang hingga saat ini masih menuai berbagai perdebatan di kalangan masyarakat Aceh.

Seminar tersebut juga mengundang dan menghadirkan beberapa tokoh sebagai pemberi materi yaitu;

  1. Amrizal J. Prang, S.H, LLM akademisi yang mengangkat materi bertema "Qanun Wali Nanggroe dalam Perspektif Hukum Tata Negara".
  2. Tgk. Adnan Beuransyah,S.H (Komisi A DPRA) dengan Tema "Perkembangan dan Tantangan Implementasi Qanun Wali Nanggroe ke Depan" (tidak dapat hadir karena alasan rapat di DPRA).
  3. Adli Abdullah,S.H (Dosen Hukum dan Adat Unsyiah/Pemerhati Sejarah dan Adat Aceh) dengan tema "Wali Nanggroe dalam perspektif Historis dan Yuridis".
  4. Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton (Budayawan) dengan tema "Bentuk dan Harapan Wali Nanggroe".
  5. Tgk. Ahmad Ayyub (Tokoh adat) dengan tema "Kelembagaan Wali Nanggroe dari masa ke masa".

Sementara itu yang bertindak sebagai moderator adalah Yarmen Dinamika, Redaktur Koran Serambi Indonesia. Seminar yang digagas oleh Konsorsium Peduli Aceh ini, nantinya hasil-hasil yang diperoleh akan dijadikan sebagai bahan rekomendasi untuk diajukan ke DPRA sebagai bentuk kepedulian masyarakat akan masa depan qanun Wali Nanggroe yang diharapkan dapat benar-benar berperan sebagai pemersatu rakyat Aceh.

Dalam pemaparan materi masing-masing pemateri dapat disimpulkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut;

  1. Wali Nanggroe, historis atau Ahistoris?
  2. Wali Nanggroe untuk siapa? rakyat Aceh atau "kelompok tertentu"?
  3. Apa wewenang Wali Nanggroe?

[caption id="attachment_204644" align="alignnone" width="610" caption="Peserta seminar menanggapi paparan pemberi materi (Dok.pribadi)"]

1350531193498532243
1350531193498532243
[/caption] Historis atau Ahistoris?

Pertanyaan ini patut ditanyakan sebagai bentuk rekam jejak sejarah Aceh yang seharusnya melandasi pembentukan Wali Nanggroe sebagai tokoh panutan dan pemersatu rakyat Aceh yang tentunya tidak boleh terlepas dari sejarah maupun akar budaya keislaman Aceh. Dalam paparan materi yang disampaikan oleh Dosen Hukum Adat Unsyiah/Pemerhati sejarah dan Adat Aceh, Adli Abdullah menyatakan bahwa berangkat dari fakta sejarah, posisi Wali Nanggroe sangat strategis namun lebih berhubungan dengan urusan peutimang Nanggroe ketika Sultan/pemimpin tidak ada. Wali Nanggroe tidak bisa mengambil simbol kerajaan sebagai alat kekuasaan mereka, namun hanya memastikan bahwa eksistensi simbol pemersatu rakyat Aceh masih ada.

Sementara itu menurut tokoh adat Aceh Tgk. Muhammad Ayyub bahwa sejak Sultan pertama hingga ke-31 selama 3 adab Kesultanan Aceh berdiri, Sultan dipilih oleh rakyat dan selama pemerintahannya Sultan dibantu oleh para menteri, Kadhi, Balai Syuro dan 73 ulama. Dalam perjalanan 3 abad Kesultanan Aceh tidak pernah tercatat istilah Wali Nanggroe. Berbeda dengan pendapat Tgk. Muhammad Ayyub, Syamsuddin Djalil atau biasa disebut Ayah Panton berpendapat bahwa Wali Nanggroe mempunyai sejarah panjang pada masa keemasan Kesultanan Aceh. Posisi ini sangat dihormati rakyat Aceh dan menjadi simbol pemersatu bangsa Aceh. Namun ia mengakui bahwa sesuai dengan pasal 96 ayat 2 UUPA Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintahan.

Wali Nanggroe untuk Siapa? Rakyat Aceh atau "Kelompok Tertentu"?

Menurut Tgk Muhammad Ayyub, catatan sejarah setelah Indonesia merdeka, istilah "wali Nanggroe" pernah diangkat oleh Kartosoewiryo, pemimpin DI/TII ketika berbicara dengan Daud Beureueh untuk memintanya menjadi Wali Nanggroe.Tahun 2005 istilah ini muncul kembali dalam salah satu klausul MoU Helsinki yang disepakati antara Pemerintah RI dan GAM. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah itu memang sengaja diangkat oleh GAM pada masa itu sebagai bentuk propaganda untuk menyemangati perjuangan mereka atau juga sebagai bentuk grand strategy penyiapan suksesi kepemimpinan GAM yang dibawahi oleh Hasan Tiro. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa "stigma" Wali Nanggroe kerap kali diidentikkan dengan GAM. Hal tersebut diamini oleh Ayah Panton namun juga ia menolak dengan adanya stigma tersebut dengan menegaskan bahwa Wali Nanggroe adalah untuk rakyat Aceh bukan untuk eks GAM.

Apa Wewenang Wali Nanggroe?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun