Militer Myanmar kembali berulah. Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, merebut tampuk pimpinan negara Myanmar dengan kudeta militer pada Senin (1 Februari 2021). Militer Myanmar menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional. Apa alasan kudeta ini ? Dari berbagai berita, Jenderal Min Aung Hlaing menuduh pemerintah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu.Â
Saat itu, Partai Aung San Suu Kyi, Partai Liga Nasional, menang telak dan menguasai mayoritas kursi di parlemen. Namun tudingan itu dibantah kalangan aktivis Myanmar. Khin Ohmar, seorang aktivis demokrasi dan HAM veteran di Myanmar, menilai kudeta militer tidak dilakukan karena adanya kecurangan pada pemilihan umum 8 November 2020, tapi lebih  karena Jenderal Min Aung Hlaing, jenderal yang berusia 64 tahun ini, yang akan pensiun pada Juli 2021,  ingin mempertahankan posisinya di militer dan mengamankan jaringan usaha di tubuh militer yang melibatkan keluarga para petinggi beserta mitra bisnisnya.
Dari catatan sejarah, Myanmar memang berkali-kali dilanda kudeta militer. Tahun 1962, empat belas tahun setelah negara itu merdeka dari pemerintahan kolonial Inggris, Tatmadaw (sebutan untuk angkatan bersenjata Myanmar), yang berada di bawah Jenderal Ne Win, menggulingkan pemerintahan sipil. Kemudian pada Agustus 1988, Myanmar  diguncang protes massal yang berbuntut pada penggulingan Jenderal Ne Win.Â
Posisinya digantikan oleh junta militer yang baru. Kini awan hitam menyelimuti Burma, sebutan lama Myanmar. Â Myanmar kembali diguncang kudeta.
Salah satu dampaknya adalah bagaimana nasib kaum muslim Rohingya pasca kudeta ini. Sebelum kudeta ini, Muslim Rohingya dari etnis Rohingya, minoritas muslim terbesar di Myanmar, telah mengalami diskriminasi, represi, dan kekerasan selama puluhan tahun. Korban berjatuhan termasuk  muslim yang  tewas. Padahal Muslim Rohingya sudah bermukim di  wilayah Rakhine,  wilayah bagian utara Myanmar, selama beberapa generasi. Â
Penderitaan Muslim Rohingya bertambah lagi. Status kependudukan mereka ditolak oleh pemerintah Myanmar dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia.Â
Kisah memilukan Muslim Rohingya bisa ditengok ke tahun 2017 lalu. Â Angkatan Bersenjata Myanmar menggelar operasi militer di Negara Bagian Rakhine. Saat itu, Jenderal Min Aung Hlaing sebagai panglima tertinggi militer Myanmar. Operasi tersebut memaksa sekitar 700 ribu masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan hingga kini masih tinggal di tenda-tenda pengungsi. Sebagian lagi mengungsi ke Indonesia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-BAngsa (PBB) Antonio Guterres dan negara-negara Barat menuduh militer Myanmar berniat melakukan pembersihan etnik. Muslim Rohingya dipaksa meninggalkan Myanmar. Kalau bertahan, tetap tinggal, nyawanya diujung tanduk.
Menurut Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A.,  penguasa di Myanmar seharusnya melaksanakan resolusi PBB (Desember 2019) yang menyerukan  kepada Pemerintah Myanmar untuk melindungi semua kelompok minoritas, termasuk minoritas Muslim di negeri itu, dan memastikan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM terhadap minoritas Muslim Rohingya. Tidak hanya itu. Keputusan International Court of Justice (Januari 2020) memerintahkan Pemerintah Myanmar untuk menggunakan segala cara dan kemampuannya  untuk mencegah kemungkinan berlanjutnya genosida terhadap Muslim Myanmar.
Namun Pemerintah Myanmar sepertinya menganggap semua itu angin lalu. Karena itu, untuk menekan penguasa Myanmar tampaknya perlu menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, tokoh dan pemimpin umat Islam, ORMAS muslim di Indonesia dan organisasi masyarakat madani muslim di berbagai  wilayah negara lainnya untuk ikut mencermati dan memantau perkembangan yang terjadi di Myanmar agar tidak terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap semua kelompok, termasuk muslim di Myanmar yang dilakukan oleh siapapun.  Kalau perlu, Pemerintah RI segera turun tangan membina kerjasama dengan negara-negara anggota  ASEAN, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotan 57 negara,  dan PBB untuk  memastikan bahwa gejolak politik di Myanmar tidak memperburuk  kondisi masyarakat Muslim di negeri itu, termasuk Muslim Rohingya. Sejarah menunjukkan kudeta ini kembali mengingatkan "mimpi buruk" yang dialami rakyat Myanmar, yang sebagiannya adalah kaum muslim. Myanmar pernah dalam genggaman tangan besi  diperintah rezim militer opresif selama hampir 50 tahun, sebelum beralih menuju pemerintahan demokratis pada tahun 2011.
Bila pasca kudeta militer ini, kondisi Muslim Rohingya semakin memburuk, maka itu bisa mengundang solidaritas muslim dari berbagai penjuru dunia. Yang pada gilirannya, menjadi pintu masuk  bagi kaum muslimin dari manca negara untuk menjadikan  Myanmar sebagai negara tujuan baru untuk  "berjihad".  Militansi muslim Rohingya yang mengungsi di Bangladesh juga mungkin semakin mengeras untuk membantu sesama saudara muslimnya di Myanmar. Myanmar akan jatuh ke dalam  konflik berkelanjutan yang semakin membuat kelam nasib rakyatnya termasuk kaum muslim di dalamnya. , Dan, gelombang pengungsi bisa mengalir kembali ke Indonesia. Menjadi beban bagi Indonesia maupun negara lain yang ketempatan.Â
Apa yang bisa dilakukan ? Sebagai sesama muslim, paling tidak berdoa, agar penguasa Myanmar membuka pintu dialog dan mengajak semua pihak terkait membahas solusi terbaik sesuai keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H