Mohon tunggu...
Humaniora

Karena PLN, Aku Terpaksa Merantau

19 Oktober 2016   16:49 Diperbarui: 21 Oktober 2016   14:36 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iska Marpaung - dokpri

"Sudah jam 11, ayo kita pulang!" ujarnya mengajak pulang

"Ah tanggung! Sedikit lagi bisa kita selesaikan, ayolah lebih baik kita selesaikan malam ini biar besok aku bisa pulang" balasku sambil tetap menatap layar komputer.

**

2010

Bekerja hingga larut malam adalah hal yang biasa bagiku, terlebih pada akhir hingga awal bulan. Periode ini adalah masa billing rekening listrik dimana kami harus memproses tagihan ratusan ribu pelanggan di Area kami. Datang ke kantor ketika matahari menyapa, dan pulang kembali ke rumah kos diantarkan oleh rembulan. Tapi, entah kenapa aku merasa bahagia dengan hari yang kujalani. Mungkin karena besok adalah hari Jum'at.

Jum'at. 

Ini hari yang selalu kutunggu. Hari dimana ratusan kilometer akan kutempuh diatas aspal jalanan demi mencium tangan Ayah dan Ibu.

"Untung bisa kita selesaikan tadi malam kan bisa pulang dengan tenang tanpa beban " ucapku sekenanya pada teman seruanganku.

"Ah kau kerjanya pulang saja, padahal kampungmu di depan mata. Kalo merantau yang niat dikit dong! Pulangnya setahun sekali kek.. " teriaknya dari balik lemari ordner.

"Justru kampung di depan mata itu kelebihannya bro, bisa pulang lebih sering hahaha..." jawabku sambil terkekeh sembari merapikan isi ranselku.

Selanjutnya hanya suara tawa renyah yang terdengar dari dalam ruangan kami. Saling mengejek dan menertawakan jadi bumbu yang mengisi hari-hari kami.

**

Jika bukan karena PLN mungkin aku tidak akan berada di tanah rantau. Tidak akan merasakan nikmatnya rasa rindu yang menggebu-gebu. Rindu akan harum semerbak tanah kelahiran, tanah dimana aku lahir dan tumbuh. Aku bisa merasakan jantung berdegup kencang di hari Jumat, sibuk berburu travel di hari Rabu dan gundah gulana di hari Minggu karena harus kembali ke perantauan. 

Kala itu, Aku , masih bocah berusia 17 tahun. Baru lepas dari seragam putih abu-abu, di saat PLN membuka penerimaan pegawai Beasiswa Ikatan Dinas D1. Boro-boro memikirkan bekerja, yang ada di otak saat itu cuma bahagia karena sudah bisa bebas dari seragam putih - abu abu. Namun nasib berubah ketika aku membaca ada namaku didalam pengumuman kelulusan penerimaan pegawai PLN. Bahagia dan Sukacita meliputiku hari itu, bukan hanya aku tentu saja Ibu, Bapak dan adik-adikku juga merasakan hal yang sama. 

Muara Bungo.

Menjadi tempat pelabuhanku selanjutnya setelah masa prajabatan kuselesaikan. Sungguh! mendengarnya pun aku tak pernah apalagi membayangkan harus tinggal di desa kecil. Mungkin aku akan diprotes teman-temanku di Muara Bungo saat ini karena menuliskan Muara Bungo sebagai Desa. Tapi, untuk kalian ketahui guys, 7 tahun yang lalu Muara Bungo adalah kota kecil yang lebih mirip desa jika kubandingkan dengan kota kelahiranku hehehe...

Rasanya aku ingin marah kepada kota ini! Nyari makan susah, biaya hidup mahal, ngontrak rumah butut aja  butuh modal sampe 14 juta,  ojek cuma sampai jam 19.30 Wib kalo dah lembur terpaksa pulang jalan kaki, angkot ga ada, mau nonton tv harus punya parabola! Aihhhhhh... sungguh membuatku hampir menyerah.

Sudah bisa diduga setelah tiba di Muara Bungo, hidupku lebih banyak aku habiskan di Kantor PLN. Terang saja! Mau kemana lagi aku kalau bukan ke kantor? Saudara tak punya, Mall tak ada, TV di Kos pun belum ada parabolanya, untung ada PLN jadi kota ini dipastikan ada listriknya.  Jadilah aku dan teman-temanku menjadikan kantor PLN sebagai tempat mengais rezeki dan sekaligus sebagai Rumah. Ya Rumah, tempat kami berteduh dari hujan, bercengkrama, bercanda, sekedar nonton tv dan menghabiskan hari-hari kami. Pulang ke kos hanya untuk tidur dan mandi, sisanya habiskan di kantor lagi begitu terus berulang-ulang.  

PLN.

Setelah puas mengumpat, kali ini aku harus berterima kasih pada PLN. Mungkin aku tidak akan mengalami indahnya rasa rindu, sedihnya jauh dari ibu, makan indomie tanpa ada yang memarahi, punya teman yang rasanya seperti saudara sendiri, jika bukan karena PLN 'melemparkanku' ke Muara Bungo. 

Berterima kasih bukan hanya karena telah  memberiku penghasilan, juga karena telah memberikan kesempatan merasakan nikmatnya berada di perantauan. Belajar jadi mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri dan istimewanya di tempat ini aku menemukan Ayah, Ibu , Kakak, Adik, Paman , Bibi baru yang bahkan tidak sedarah denganku.  Sungguh aku harus banyak berterima kasih pada PLN yang telah mendewasakan diriku. 

Benar kata pepatah lama, sesuatu akan menjadi berharga ketika sudah tidak menjadi milik kita lagi. 

Jika kemarin aku mengumpat karena harus merantau, hari ini aku berterima kasih atas pengalaman hidup merantau di Muara Bungo yang akan ku kenang selamanya.  

*ingat, hanya untuk dikenang tidak untuk diulang* 

Muara Bungo bukanlah akhir dari perantauan melainkan awal dari tempat yang kelak akan aku datangi. Kali ini kesempatan membawa aku 'kembali' ke tempat kelahiranku. Tapi siapa yang tahu esok PLN akan membawaku kemana....

Teruntuk : Muara Bungo (2009 - 2014) 

#SukaDukaPegawaiPLN

#TerpaksaMerantau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun