Mohon tunggu...
Isidorus Lilijawa
Isidorus Lilijawa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Meneropong posibilitas...

Dum spiro spero

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Bupati Marahi Menteri

3 Juni 2021   07:27 Diperbarui: 3 Juni 2021   08:47 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Video berdurasi 3 menit 9 detik perihal Bupati Alor - NTT memarahi 3 orang staf Kementerian Sosial yang selanjutnya merembet ke Menteri Sosial, benar-benar menghebohkan jagad maya dan jagad nyata. Berbagai analisis, komentar, catatan kritis, ulasan, pujian hingga caci maki menyeruak. Itu memang efek viralitas media.

Setelah menonton video itu beberapa kali dan menakar reaksi publik, saya menemukan beberapa hal yang penting untuk dinyatakan sebagai bagian dari proses pembelajaran post factum. Saya coba membedahnya dengan pisau analitis saya yang tentu tidak setajam kata-kata Bupati Alor. 

Dari informasi video dan berita yang beredar, saya menangkap alasan mengapa Bupati Alor memarahi staf Kemensos dan Menteri Sosial. Bupati merasa 'dilangkahi' sebagai pejabat dan penguasa di daerah.

Bantuan bencana atau bantuan PKH sebagaimana kata Bupati, seharusnya dibagikan oleh Pemerintah Daerah setempat, bukan oleh partai politik tertentu. Dalam hal ini Pemerintah Pusat harus berkoordinasi dgn Pemerintah Daerah untuk menyalurkan bantuan itu. Karena Pemerintah Daerah-lah yg 'lebih tahu' tentang rakyatnya.

Dua Pesan Substantif

Saya menangkap ada pesan substantif dari reaksi 'amarah' Bupati ini. Pertama, Pemerintah Pusat harus juga menghargai Pemerintah Daerah. Di sini tak ada relasi atasan dan bawahan, majikan dan buruh, tetapi relasi koordinasi. Maka apapun bantuan dari pusat harus juga mengetahui Pemda setempat jika itu terkait dgn kepentingan rakyat di daerah itu. 

Sudah cukup lama, 'orang Jakarta' atau 'orang kementerian' merasa diri sebagai bos orang-orang di daerah. Ketika ke daerah mereka sering diperlakukan eksklusif. Bahkan pemerintah daerah mesti mempersiapkan segalanya dgn baik. Karena perlakuan semacam ini, kadang-kadang mereka by pass untuk salurkan program. 

Tidak perlu koordinasi dgn 'tuan rumah'. Melalui jaringan yg mereka kenal dan rintis sendiri, mereka bisa mengorganisir kegiatan dan menjalankan program. Lalu Pemda hanya dibutuhkan 'stempel dan tandatangannya' untuk legalisasi SPPD. Dalam konteks ini, amarah Bupati Alor perlu dan bisa dipahami.

Pesan substantif kedua adalah perihal politisasi bantuan pemerintah. Bupati Alor berang karena bantuan pusat dikelola dan didistribusikan partai tertentu. Dalam konteks macam ini politisasi bantuan sangat mungkin terjadi. 

Dalam bahasa gaul NTT disebut 'kerbau punya susu sapi punya nama'. Implementasinya: sumber bantuan dari pemerintah tetapi dalam pendistribusian bisa dinarasikan sebagai bantuan dari partai politik atau atas perjuangan keras partai tertentu. 

Sasaran bantuan pun disesuaikan dgn kepentingan partai. Padahal untuk bencana misalnya, Pemda-lah yg punya organ teknis untuk mengurus itu dan tentu memiliki data yg lebih jelas dgn metode verifikasi on the spot. Politisasi bantuan pemerintah inilah yg disoroti Bupati Alor, dan bagi saya ini langkah maju dan semestinya.

Kasar Bukan NTT

Diskursus publik menyoroti juga 'keberanian' Bupati Alor menelanjangi staf Kemensos bahkan hingga mengalamatkan amarahnya pada Menteri Sosial. Jika kita dengar narasi di video yg viral itu, tambahan kata-kata kasar seperti 'bodok', makian *uki m*i, ancaman melempar kursi, adalah benar-benar luapan amarah yg luar biasa. 

Bupati tidak lagi berada dalam area 'keras' tetapi sudah menyeberangi zona 'kasar'. Ada yg memberikan apresiasi, sejatinya pemimpin mesti seperti itu: berani, tegas dan bisa keluarkan ancaman dan kata-kata kotor. Ada juga yg melegitimasi tindakan semacam itu sebagai made in NTT, kekhasan NTT yg tidak neko-neko, apa adanya.

Saya tidak sepakat. Kita orang NTT apalagi para pemimpin di NTT harus keras dalam prinsip tetapi mesti tetap lembut dalam cara penyampaian (fortiter in re, suaviter in modo). 

Tegas tidak selalu berarti keras. Orang NTT bukan orang kasar yg gampang mencaci maki apalagi terhadap tamu. Kita orang NTT boleh keras, blak-blakan, bicara apa adanya tetapi bukan kasar. Kita butuh pemimpin yg berani tetapi bukan pemimpin tukang ancam. Kita butuh pemimpin tegas tetapi bukan pemimpin bertipe kasar. Kita butuh pemimpin yg prinsipil namun bukan pemimpin yg suka menggunakan kata-kata kotor dan jorok di depan publik. 

Pemimpin di NTT boleh dan harus keras pada rakyatnya tetapi tidak boleh kasar pada rakyatnya. Pemimpin di NTT boleh tegas pada tamunya tetapi pantang 'menjorokinya' dgn caci maki. Anda tidak lebih hebat dari yg anda kasari. Anda tidak lebih sempurna dari yg anda caci maki. Karena itu, berpikirlah sebelum bicara. Jangan kecepatan bicara dan akselerasi emosi melonjak beberapa meter di depan kecepatan berpikir anda, wahai pemimpin.

Berani Tak Cukup, Beretiket Penting

Cukup banyak reaksi publik yg kontra terhadap aksi sang Bupati. Beberapa argumentasi: tindakan itu memalukan orang NTT, tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin, pemimpin tidak beretika, sombong, merendahkan orang lain, tindakan yg tidak patut ditiru. 

Publik cukup heran, apakah tidak ada cara yg lebih santun dan bermartabat yg seharusnya dilakukan sang Bupati untuk menyikapi persoalan itu? Mengapa tidak secara 'gentle' sang Bupati langsung bertemu Menteri Sosial dan memarahi sang Menteri face to face? Apakah ada nyali? Ataukah sekadar mau 'unjuk rasa' di hadapan para staf yg memang juga turun ke lapangan karena 'ikut perintah'?

Keberanian Bupati Alor sirna dan gugur karena serentak kehilangan etika. Tidak wajar dan tidak pantas seorang Bupati mengeluarkan ancaman dan kata-kata kotor di hadapan tamunya. Mungkin saja Bupati di posisi benar. Tetapi dgn melakukan hal-hal yg tidak pantas itu, disposisinya menjadi tidak benar. Ini seperti meraih tujuan tapi halalkan cara. 

Saya kadang-kadang membatin, apakah marah, ancam, caci maki ini adalah pola lama sehingga tidak menemukan pola baru yg lebih santun, bermartabat dan humanis?

Bupati Alor mungkin saja bakal dikenang sebagai Bupati yg bisa memarahi Menteri. Tetapi pengenangan itu sekaligus menelanjangi dirinya sendiri oleh ketakpantasan-ketakpantasan yang pantang dilakukan seorang pemimpin. 

Bupati Alor memang hebat di Alor lalu membandingkan dirinya dgn Menteri Risma yg ketika menjabat Walikota Surabaya hanya bisa mengurus taman. Tetapi perlu diingat, sebagai Menteri, ia adalah pimpinan Bupati juga. Lalu membandingkan dirinya dgn Menteri Sosial, saya bingung mau pakai takaran apa.

Keangkuhan, jumawa, kejagoan sang Bupati bisa dilihat dalam video itu. Tetapi hemat saya itu bukan untuk dibanggakan. Pesan-pesan substantif memudar sendirinya tatkala kontent pembicaraan sudah memasuki zona tak pantas. Tujuan mengoreksi, baik adanya. Maksud membetulkan, itu positif. Tetapi mesti juga dgn cara yg baik dan positif pula. 

Kebanyakan para pemimpin kita mengalami 'syndrom maruak' (gejala psikis ketika seseorang marah tak ada ujung pangkalnya). Jadi pemimpin mestilah memahami manajemen amarah. 

Amarah itu baik jika disampaikan pada orang yg tepat, dgn alasan yg tepat, pada saat yg tepat, dgn cara yg tepat. Yang marah sembarang itu gejala sakit psikis dan solusinya periksalah kondisi psikis itu di dokter jiwa.

Narasi Maaf

Biasanya setelah adanya hal-hal semacam ini, orang baru sadar kemudian dan meminta maaf. Permintaan maaf dilihat sebagai itikad baik bahwa seseorang itu mengakui kesalahan dan berniat tidak melakukannya lagi. 

Bisa juga permintaan maaf itu adalah 'jalan' agar tidak ada proses berlanjut baik di aspek hukum maupun sosial. Namun narasi maaf bukan jalan keluar. 

Orang sering memanfaatkan 'kata maaf' sebagai upaya untuk 'menghapus' catatan-catatan hitamnya. Itu tidak cukup. Karena pada saat anda mengucapkan kata maaf tidak serta merta orang yg anda lukai, zolimi, perasaan dan psikisnya pulih segera. Saling memaafkan mungkin iya. Tetapi untuk melupakan butuh waktu. Apalagi dari momen-momen itu orang menarik banyak pembelajaran. 

Saya melihat di sosial media, sudah ada pernyataan maaf dari Bupati Alor terhadap Menteri Sosial. Mudah-mudahan itu serentak menghapus luka pada pihak-pihak yg amarah itu dilampiaskan dan dialamatkan.

Ternyata untuk mengenal dan mengetahui siapakah Bupati Alor, saya tidak perlu penjelasan dari Gubernur NTT apalagi Presiden Jokowi. Saya ingat dalam peristiwa 'via dolorosa' jalan salib Tuhan Yesus. 

Ketika ditanya oleh Pilatus, apakah Engkau raja orang Yahudi? Tuhan Yesus hanya menjawab, 'engkau telah mengatakannya'. Dari video 3 menit 9 detik itu, pertanyaan 'mau tahu siapakah saya?' Ternyata 'engkau telah mengatakannya'. Tentu dari kata-kata dan bahasamu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun