Mohon tunggu...
Ishmat Munif taridala
Ishmat Munif taridala Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

futsal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Relevansi Politik Islam dari Khilafah ke Demokrasi di Dunia Modern

10 Januari 2025   06:25 Diperbarui: 10 Januari 2025   06:25 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan sistem politik Islam dari Khilafah menuju demokrasi merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak hanya melibatkan transformasi dalam struktur pemerintahan, tetapi juga menyentuh berbagai aspek sosial, budaya, dan agama. Khilafah, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kekuasaan sentral dari seorang Khalifah, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah peradaban Islam. Sistem ini, yang telah ada sejak masa Rasulullah SAW dan terus berkembang melalui dinasti-dinasti besar seperti Umayyah, Abbasiyah, hingga Ottoman, menempatkan kekuasaan politik dan agama dalam satu entitas. Namun, dengan berakhirnya Kekhalifahan Ottoman pada tahun 1924, dunia Islam memasuki periode yang penuh dengan ketidakpastian terkait model pemerintahan yang tepat untuk menggantikan sistem Khilafah. Kejatuhan Khilafah Ottoman juga menandai berakhirnya dominasi politik Islam yang berbasis pada kekuasaan tunggal seorang Khalifah.

Perubahan besar dalam tatanan politik dunia Islam ini memberikan ruang bagi berbagai model pemerintahan modern untuk berkembang, dan salah satunya adalah demokrasi. Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Demokrasi, yang memiliki akar kuat dalam tradisi politik Barat, seringkali dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Terutama dalam hal hubungan antara agama dan negara, serta prinsip-prinsip politik yang seharusnya dijalankan oleh umat Islam. Hal ini mengundang perdebatan panjang di kalangan intelektual Muslim tentang bagaimana seharusnya Islam diterapkan dalam sistem demokrasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan individu, pluralisme, dan partisipasi rakyat, dapat diselaraskan dengan ajaran Islam yang mengedepankan keadilan dan musyawarah. Sementara itu, pihak lain beranggapan bahwa demokrasi Barat tidak dapat diterima dalam kerangka Islam yang lebih menekankan pada nilai-nilai religius dan ketertiban sosial.

Pergeseran dari Khilafah menuju demokrasi ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti kolonialisme Barat yang turut membentuk peta politik di dunia Muslim. Negara-negara kolonial yang menguasai wilayah-wilayah Muslim, seperti Inggris dan Prancis, seringkali memaksakan sistem pemerintahan mereka, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi. Setelah kemerdekaan, banyak negara-negara Muslim yang berusaha untuk mengadaptasi sistem pemerintahan demokratis ini, meskipun sering kali mengalami kendala dalam penerapannya. Beberapa negara, seperti Turki, Mesir, dan Indonesia, berhasil mengembangkan sistem demokrasi yang relatif stabil, sementara negara-negara lainnya masih menghadapi ketegangan antara tradisi politik Islam dan tuntutan demokrasi modern.

Pada akhirnya, transformasi dari Khilafah menuju demokrasi bukan hanya soal mengganti sistem pemerintahan, tetapi juga tentang bagaimana memahami ulang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti kepemimpinan, keadilan, dan hak-hak rakyat. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan modern yang lebih inklusif dan partisipatif. Ini membawa kita pada perdebatan seputar apakah demokrasi dapat menjadi bagian dari tradisi politik Islam, ataukah sistem yang sepenuhnya asing dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Isu-isu ini menjadi semakin relevan dalam dunia Muslim yang terus berkembang, di mana tantangan untuk menciptakan pemerintahan yang adil, amanah, dan mencerminkan nilai-nilai Islam semakin mendesak. Pembahasan mengenai perubahan politik Islam dari Khilafah ke demokrasi ini akan memberikan gambaran yang lebih luas tentang bagaimana umat Islam menghadapi tantangan dalam menerapkan sistem politik yang sesuai dengan tuntutan zaman, tanpa meninggalkan esensi ajaran agama yang mereka anut.

Politik Islam menawarkan alternatif dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim, yang sering kali dihadapkan dengan ketidakstabilan dan ketimpangan akibat penerapan sistem demokrasi. Meskipun demokrasi diadopsi secara luas di negara-negara Muslim setelah runtuhnya Khilafah, masalah seperti korupsi, ketidakadilan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Sistem demokrasi yang memberi kebebasan kepada individu sering kali mengarah pada ketimpangan kekuasaan, di mana elit politik dan ekonomi mendominasi. Sebaliknya, politik Islam dengan dasar ajaran Al-Qur'an dan Hadis mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Hal ini menjadikannya sebagai solusi relevan untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam praktik demokrasi.

Dalam Politik Islam, kepemimpinan bukan sekadar posisi kekuasaan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan umat. Prinsip ini termaktub dalam Al-Qur'an, seperti dalam surat An-Nisa (4:58), yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil." Ayat ini menegaskan bahwa seorang pemimpin dalam sistem politik Islam harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berpihak pada keadilan dan kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, kepemimpinan dalam politik Islam bukanlah sekadar untuk memenuhi ambisi politik, tetapi untuk menjalankan tanggung jawab yang diamanahkan kepada mereka.

Musyawarah (shura) juga menjadi salah satu prinsip utama dalam politik Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman dalam surat Asy-Syura (42:38): "Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka..." Ayat ini menunjukkan pentingnya konsultasi dan diskusi antara pemimpin dan rakyat dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan kehidupan umat. Berbeda dengan sistem demokrasi yang sering kali mengarah pada pengambilan keputusan oleh mayoritas tanpa mempertimbangkan hak minoritas, sistem musyawarah dalam politik Islam menekankan pada diskusi yang melibatkan berbagai pihak untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana. Sistem ini juga memungkinkan adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan sosial dan politik di dunia modern.

Politik Islam menegaskan bahwa pemimpin dianggap sebagai pelayan rakyat yang harus menjaga kesejahteraan mereka. Sebagaimana dicontohkan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, yang bersabda: "Pemimpin yang baik adalah yang melayani umatnya dengan adil dan bijaksana." Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin dalam politik Islam memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kepemimpinan mereka membawa manfaat bagi umat. Dengan prinsip ini, politik Islam tidak hanya berfokus pada aspek teknis pemerintahan, tetapi juga pada nilai-nilai moral yang diharapkan dapat menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

Di negara-negara yang masih mengintegrasikan politik Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, sistem ini terbukti memberikan kestabilan politik meskipun menghadapi tantangan internal dan eksternal. Di Arab Saudi, misalnya, meskipun negara ini menerapkan sistem monarki, prinsip-prinsip syariah yang mendasari hukum negara tetap berfungsi sebagai panduan dalam mengelola kehidupan sosial dan politik. Demikian pula di Iran, meskipun menerapkan sistem republik Islam dengan elemen demokrasi, prinsip-prinsip Islam tetap mendominasi dalam pembuatan kebijakan negara. Hal ini menunjukkan bahwa politik Islam, dengan dasar nilai-nilai agama yang kuat, mampu menyediakan kerangka yang stabil untuk pengelolaan negara.

Sistem demokrasi, meskipun sering kali dianggap sebagai sistem yang lebih modern dan universal, sering kali menghadapi masalah dalam memastikan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Korupsi yang melanda banyak negara demokratik menunjukkan bahwa kebebasan individu sering kali dieksploitasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam politik Islam, kesejahteraan bersama dan keadilan sosial menjadi prioritas utama, bukan sekadar kebebasan individu yang terkadang tidak terkendali. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin dalam sistem politik Islam harus bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keadilan yang diberikan kepada rakyatnya. Hal ini jauh berbeda dengan sistem demokrasi yang cenderung mengutamakan politik identitas dan kepentingan kelompok tertentu.

Penerapan prinsip-prinsip Islam dalam politik juga dapat menjawab banyak persoalan global yang dihadapi negara-negara Muslim saat ini. Ketidaksetaraan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan kemiskinan yang melanda sebagian besar negara Muslim dapat dikurangi dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam politik Islam. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an, surat Al-Baqarah (2:177): "Sesungguhnya amal yang paling baik adalah yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk mencari keridhaan Allah dan bermanfaat bagi umat manusia." Prinsip ini mendorong para pemimpin untuk selalu mendahulukan kepentingan umat dalam setiap kebijakan yang diambil.

Politik Islam tetap relevan dan dapat menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi negara-negara Muslim saat ini. Meskipun demokrasi banyak diadopsi, ketimpangan sosial, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan tetap menjadi persoalan utama. Dalam politik Islam, prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, dan tanggung jawab moral kepada umat menjadi landasan yang kokoh untuk menciptakan sistem pemerintahan yang stabil dan adil. Kepemimpinan dalam politik Islam bukan hanya soal kekuasaan, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyat. Dalam hal ini, musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif. Di samping itu, politik Islam mendorong pemimpin untuk senantiasa memperhatikan kesejahteraan umat, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Negara-negara yang masih mengintegrasikan politik Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan dapat menciptakan stabilitas meski menghadapi tantangan. Dengan demikian, politik Islam memiliki potensi untuk menjawab kekurangan dalam sistem demokrasi dan menawarkan alternatif yang lebih adil bagi masa depan negara-negara Muslim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun