Mohon tunggu...
Ishmat Munif taridala
Ishmat Munif taridala Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

futsal

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pemikiran Amerika : Sistem Pemilu "Winner Takes All" dan Dominasi Dua Partai di Amerika Serikat

8 Januari 2025   19:16 Diperbarui: 8 Januari 2025   19:16 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

POLITIK PEMIKIRAN AMERIKA : SISTEM PEMILU "WINNER TAKES ALL" DAN DOMINASI DUA PARTAI DI AMERIKA SERIKAT

OLEH :

MUH. ISHMAT MUNIF TARIDALA

Sistem pemilu di Amerika Serikat telah lama dikenal dengan prinsip "Winner Takes All" yang diterapkan dalam hampir semua level pemilihan, mulai dari pemilihan kongres hingga pemilihan presiden. Sistem ini, di mana kandidat yang memenangkan suara terbanyak di suatu distrik atau negara bagian mengambil seluruh kursi atau suara elektoral, memainkan peran besar dalam membentuk dinamika politik di negara tersebut. Hasilnya adalah dominasi dua partai utama, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik, yang membatasi keberagaman pilihan politik masyarakat Amerika.

Sistem "Winner Takes All" menghambat peluang bagi partai ketiga atau third parties untuk berkompetisi secara serius dalam pemilu. Sebagai contoh, meskipun ada partai seperti Partai Libertarian, Partai Hijau, dan Partai Konstitusi, pengaruh mereka sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh aturan yang mendukung dua partai utama untuk mengamankan seluruh kursi di tingkat lokal dan nasional, bahkan ketika suara yang mereka peroleh jauh dari mayoritas mutlak. Misalnya, jika di suatu distrik kandidat dari Partai Republik memperoleh 40% suara, kandidat Demokrat 35%, dan kandidat dari Partai Hijau 25%, maka seluruh kursi atau suara distrik tersebut tetap jatuh kepada kandidat dari Partai Republik. Sistem ini sering kali disebut tidak proporsional karena tidak memberikan representasi kepada pemilih yang mendukung partai-partai kecil.

Salah satu dampak signifikan dari sistem ini adalah terbatasnya pilihan politik bagi masyarakat. Banyak pemilih merasa terjebak dalam dilema untuk memilih "lesser of two evils" atau "yang lebih sedikit buruk" di antara dua partai besar. Akibatnya, kandidat-kandidat dari partai kecil sering dianggap sebagai "spoiler" yang justru dapat memecah suara oposisi dan menguntungkan salah satu partai besar. Hal ini terjadi, misalnya, pada Pemilu Presiden 2000, ketika kandidat dari Partai Hijau, Ralph Nader, dituduh menyebabkan kekalahan Al Gore dari Partai Demokrat karena memecah suara progresif di Florida.

Tidak hanya itu, sistem "Winner Takes All" juga berdampak pada representasi di Kongres. Misalnya, pada Pemilu DPR tahun 2022, meskipun Partai Libertarian mendapatkan jutaan suara secara nasional, mereka tetap tidak mampu memenangkan kursi karena aturan ini. Bandingkan dengan sistem proporsional di banyak negara lain, seperti di Eropa, di mana suara untuk partai kecil tetap dapat diterjemahkan menjadi kursi di parlemen.

Selain itu, penerapan "Winner Takes All" juga memengaruhi pemilihan presiden melalui sistem Electoral College. Di sini, pemenang di setiap negara bagian (kecuali Nebraska dan Maine yang menggunakan metode berbeda) mendapatkan semua suara elektoral negara bagian tersebut, terlepas dari margin kemenangan. Contoh nyata dari dampak sistem ini terlihat pada Pemilu Presiden 2016. Saat itu, Hillary Clinton memperoleh hampir tiga juta suara lebih banyak daripada Donald Trump secara nasional, tetapi Trump menang karena mendapatkan lebih banyak suara elektoral. Hal ini mencerminkan bagaimana suara rakyat secara langsung tidak selalu diterjemahkan ke dalam hasil pemilu.

Dominasi dua partai juga diperkuat oleh kekuatan finansial dan logistik yang mereka miliki. Partai Demokrat dan Republik memiliki akses yang jauh lebih besar ke dana kampanye, media, dan jaringan pendukung, sehingga sulit bagi partai-partai kecil untuk bersaing. Kombinasi antara sistem "Winner Takes All" dan ketimpangan sumber daya menciptakan hambatan struktural yang mengakar bagi munculnya alternatif politik. Namun, bukan berarti sistem ini tidak memiliki pendukung. Para pendukungnya berargumen bahwa sistem "Winner Takes All" sederhana dan efektif dalam menciptakan pemerintahan yang stabil. Mereka juga mengklaim bahwa sistem ini meminimalkan fragmentasi politik dan menghindari kebuntuan seperti yang terjadi di negara-negara dengan banyak partai.

Sistem pemilu di Amerika Serikat yang didasarkan pada prinsip "Winner Takes All" telah menjadi sorotan utama dalam diskusi politik global. Sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, saya melihat bahwa sistem ini menciptakan dinamika politik yang kompleks namun problematik, khususnya dalam hal keberagaman pilihan politik masyarakat. Dominasi dua partai besar yakni Partai Demokrat dan Partai Republik tidak hanya membatasi ruang bagi partai-partai kecil, tetapi juga mengerdilkan suara dari kelompok masyarakat yang mungkin memiliki pandangan politik alternatif.

Prinsip "Winner Takes All" memberikan seluruh kursi kepada kandidat atau partai yang memperoleh suara mayoritas dalam suatu distrik atau negara bagian, tanpa mempertimbangkan proporsi suara yang diraih oleh kandidat lainnya. Contoh nyata dari sistem ini dapat dilihat dalam pemilu di negara bagian Oklahoma, di mana seluruh kursi diwakili oleh Partai Republik meskipun ada persentase signifikan pemilih yang mendukung Partai Demokrat atau partai lain. Hal ini menggambarkan bagaimana suara minoritas sering kali tidak diakomodasi dalam representasi politik, meskipun mereka memiliki kontribusi signifikan terhadap total suara.

Dominasi dua partai besar yang diciptakan oleh sistem ini tidak hanya meminggirkan partai-partai kecil seperti Partai Libertarian, Partai Hijau, atau Partai Konstitusi, tetapi juga mempersempit pilihan politik masyarakat secara keseluruhan. Sepanjang sejarah pemilu presiden Amerika Serikat, kandidat dari partai kecil hampir tidak pernah memiliki peluang nyata untuk menang. Sejak tahun 1912, hanya satu contoh signifikan di mana partai ketiga, yaitu Partai Bull Moose yang dipimpin oleh Theodore Roosevelt, mampu bersaing dengan dua partai utama. Namun, bahkan dalam kasus tersebut, kandidat dari partai kecil tetap gagal memenangkan kursi presiden.

Salah satu dampak terbesar dari sistem ini adalah terciptanya dilema bagi para pemilih. Pemilih sering kali merasa bahwa suara mereka akan sia-sia jika diberikan kepada kandidat dari partai kecil, sehingga mereka terpaksa memilih kandidat dari salah satu partai besar yang dianggap sebagai "lesser evil" atau yang lebih sedikit keburukannya. Fenomena ini sangat terlihat dalam Pemilu 2016, ketika Hillary Clinton memenangkan suara terbanyak secara nasional, tetapi Donald Trump yang terpilih sebagai presiden melalui sistem electoral college. Sistem "Winner Takes All" memastikan bahwa suara mayoritas di tingkat negara bagianlah yang menentukan hasil pemilu presiden, sehingga suara individu di tingkat nasional menjadi kurang relevan.

Implikasi dari sistem ini tidak hanya dirasakan di tingkat domestik, tetapi juga berdampak pada persepsi internasional terhadap demokrasi Amerika Serikat. Sebagai mahasiswa hubungan internasional, saya melihat bahwa dominasi dua partai ini memberikan kesan bahwa sistem politik Amerika kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial dan politik. Partai-partai kecil, yang sering kali membawa ide-ide segar dan inovatif, tidak memiliki ruang untuk berkembang dan memengaruhi kebijakan publik secara signifikan. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi pluralitas dan partisipasi politik yang lebih luas.

Menurut banyak pakar politik, sistem "Winner Takes All" secara alamiah memperkuat status quo dan menghalangi pembaruan politik. Dengan hanya dua partai besar yang mendominasi, kebijakan publik sering kali terjebak dalam perdebatan biner tanpa ruang untuk alternatif yang lebih progresif atau moderat. Selain itu, sistem ini juga menciptakan hambatan struktural bagi partai-partai kecil untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya politik, seperti pendanaan kampanye dan liputan media. Dalam konteks ini, keberadaan partai-partai kecil sering kali hanya menjadi simbolis tanpa kemampuan nyata untuk bersaing dengan dua partai utama.

Lebih jauh lagi, sistem "Winner Takes All" juga memengaruhi dinamika hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian di Amerika Serikat. Dalam sistem ini, negara bagian yang didominasi oleh salah satu partai cenderung mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan ideologi partai tersebut, tanpa memperhatikan keragaman pandangan politik di dalam masyarakatnya. Hal ini dapat memperkuat polarisasi politik, baik di tingkat negara bagian maupun nasional, yang pada akhirnya menghambat upaya untuk mencapai konsensus dalam kebijakan publik.

Adanya dominasi dua partai besar ini memiliki dampak pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dengan hanya dua partai utama yang bersaing, kebijakan luar negeri sering kali didikte oleh agenda politik yang sempit, yang mungkin tidak mencerminkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, partai-partai kecil yang mungkin memiliki pandangan alternatif terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, atau hak asasi manusia, hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk memengaruhi arah kebijakan luar negeri Amerika.

Sistem "Winner Takes All" memerlukan reformasi yang signifikan untuk menciptakan ruang bagi keberagaman politik dan mendorong partisipasi yang lebih inklusif. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah sistem representasi proporsional, di mana kursi legislatif dibagi berdasarkan proporsi suara yang diterima oleh masing-masing partai. Dengan sistem ini, suara dari kelompok minoritas politik dapat lebih terwakili, dan partai-partai kecil memiliki peluang lebih besar untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun transisi ke sistem ini akan menghadapi tantangan yang signifikan, terutama dari dua partai besar yang telah mapan, reformasi semacam ini penting untuk memastikan bahwa demokrasi Amerika Serikat tetap relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya.

Sistem pemilu berbasis "Winner Takes All" di Amerika Serikat jelas memperkuat dominasi dua partai besar, yaitu Demokrat dan Republik, dengan mengorbankan keragaman politik serta meminggirkan pilihan alternatif yang dapat lebih mewakili aspirasi masyarakat. Sistem ini, yang memberikan seluruh kursi kepada pemenang mayoritas suara di tiap distrik, secara inheren tidak adil bagi partai kecil atau kandidat independen yang meraih dukungan signifikan tetapi gagal mencapai angka mayoritas. Akibatnya, suara masyarakat yang memilih di luar dua partai utama sering kali terasa sia-sia, mendorong mereka untuk terjebak dalam pola pikir "lesser evil" dalam menentukan pilihan. Ketimpangan ini menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem pemilu Amerika Serikat. Reformasi tersebut dapat mencakup penerapan sistem representasi proporsional, yang memungkinkan distribusi kursi yang lebih mencerminkan perolehan suara masing-masing partai. Dengan demikian, partai-partai kecil dan independen dapat memiliki peluang lebih besar untuk bersaing, dan masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan politik yang benar-benar mencerminkan keberagaman pandangan mereka. Hanya melalui langkah reformasi seperti ini, sistem pemilu Amerika Serikat dapat menjadi lebih inklusif dan mencerminkan demokrasi yang sebenarnya, di mana semua suara memiliki bobot yang setara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun