Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nawaz Sharif, Politisi Penuh Warna

14 Mei 2013   16:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:35 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil pemilu Pakistan yang diselenggarakan pada Sabtu pekan yang lalu, memberikan kemenangan bagi partai Liga Muslim Pakistan dan Nawaz Sharif. Dengan merebut 125 dari 269 kursi di Parlemen, ditambah 30 kursi independen yang biasanya berpreferensi ke pemang pemilu, Nawaz Sharif berpeluang besar untuk menjalankan mandat membentu pemerintahan tanpa perlu berkoalisi dengan partai politik yang lain. Jika ini terjadi, maka Nawaz akan menjadi Perdana Menteri untuk ketiga kalinya, setelah jabatan ini pernah diembannya pada November 1990-Juli 1993 dan Februari 1997-Oktober 1999. Rakyat Pakistan enggan menyaksikan kontinuitas pemerintahan Partai Rakyat Pakistan pimpinan Presiden Asif Ali Zardari, duda dari mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto, yang tewas terbunuh pada Desember 2007 yang lalu. Mekanisme politik ini akan menjadi tonggak baru setelah 5 tahun terakhir dinaggap menjadi masa transisi demokratisasi setelah kudeta militer oleh Jenderal Phervez Musharaf Oktober 1999 dan pemerintahan militer selama 8 tahun sesudahnya.

Nawaz adalah sosok politisi yang matang dan tak putus ditempa berbagai jerat dan rekayasa yang mengusahakan dirinya terpental dari panggung politik Pakistan. Pria yang lahir di Lahore (1949) merupakan salah satu generasi yang lahir pasca kemerdekaan Pakistan (1947). Nawaz lahir dari  keluarga industrial, yang menerima kapitalisme dan cenderung berhalauan moderat. Lulusan Governemnt College Lahore, dengan gelar sarjana dari Punjab University Law College, juga di Lahore, dia menjadi ikon kalangan perkotaan yang lahir menjadi sosok politisi yang mandiri. Keluarganya menjadi pelaku usaha setelah menikmati banyak perusahaan dari kebijakan nasionalisasi oleh Presiden Muhammad Ali Bhuto (1971-1977). Semangat kewirausahaan selalu ditekankan oleh Nawaz dalam setiap kampanye politiknya.

Karir politiknya dimulai di daerah kelahirannya, pertama-tama menjadi Menteri Keuangan dan kemudian menjadi Menteri Besar di negara bagian itu, dan selanjutnya berkiprah di panggung politik nasional Pakistan.  Sebagai menteri keuangan, dia berhasl meningkatkan anggaran. Sebagai menteri besar dia menekankan kesejahteraan dan pengembangan ketertiban dan penegakan hukum.

Nawaz pertama kali menjadi Perdana Menteri pada November 1990 saat koalisi partai yang dipimpinnya memenangi pemilu dengan menguasai 2/3 suara di Parlemen. Sebelumnya, Partai Rakyat Pakistan pada tahun 1988 mampu menghantarkan Benazir Bhuto sebagai Perdana Menteri.  Dua tahun kemudian, Nawaz berhasil menjadi Perdana Menteri ketiga setelah kematian Muhammad Zia ul-Haq (1988). Kemenangan Nawaz saat itu dibaca sebagai pergeseran signifikan penting dalam politik  Pakistan karena mengubah sistem politik feudal ke modern yang bertumpu pada semangat kewirausahaan. Transisi politik pada 1990 menjadi cermin perkembangan sosial politik rakyat Pakistan, yang berkembang menjadi negara industrial.

Nawaz menjadi Perdana Menteri setelah berlakunya Perubahan ke-8 Konstitusi Pakistan yang dilakukan oleh almarhum Presiden ul-Haq, di mana diatur bahwa Presiden berwenang untuk membubarkan Parlemen dan merombak pemerintahan. Presiden Ishaq Khan, yang sebelumnya Ketua Senat, menjadi figur yang dihormati karena memulihkan demokrasi dan mengakhiri berlakunya hukum darurat sepeninggal Presiden ul-Haq.

Pada awalnya, Ishaq Khan didorong oleh militer untuk menjadi Presiden sementara Pakistan. Dalam jabatan ini, Ishaq memutuskan untuk melaksanakan pemilu pada November 1988 dan semua partai diizinkan untuk berkompetisi di dalamnya.  Ketika Partai Rakyat Pakistan meraih suara terbanyak, Ishaq memberi mandat kepada Benazir untuk membentuk pemerintahan. Selanjutnya, dalam pemungutan suara antara parlemen federal dan lokal, Ishaq terpilih menjad Presiden dengan dukungan suara sebesar 78%. Selanjutnya, Ishaq memecat Benazir dan menyerukan pemilu 1990 yang menghantarkan Nawaz menjadi Perdana Menteri.

Namun, pada 18 April 1993 mulai nampak keinginan Presiden Ishaq untuk menggunakan wewenang luar biasa yang diberikan konstitusi dengan hendak memecat Nawaz.  Dengan alasan korupsi dan krisis ekonomi, Presiden Ishaq, di samping membubarkan Parlemen, juga memecat Nawas. Selanjutnya, Balakh Sher Mazari, seorang tuan tanah, ditunjuk menjadi Perdana Menteri sementara dan ditugaskan untuk menjadwalkan pemilu.

Anehnya pada 26 Mei 1993 Mahkamah Agung menyatakan tindakan Presiden Ishaq bertentangan dengan Konstitusi. Tindakan Mahkamah Agung ini membuahkan pertentangan yang tajam  terhadap kekuasaan Presiden Ishaq, sekaligus dianggap sebagai simbol untuk membela demokrasi.  Namun tidak ada tindak lanjut apapun dari putusan Mahkamah Agung tersebut, sementara pertentangan antara Presiden dan Perdana Menteri tidak pernah mencapai titik temu, sehingga pemerintahan menjadi stagnan. Pakistan terjebak dalam krisis politik dengan pengunduran diri Ishaq Khan dan Nawaz setelah 2 minggu negosiasi yang alot antara Nawas, Benazir, dan militer.

Resolusi untuk krisis tersebut begitu unik karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Pakistan Perdana Menteri memutuskan mundur untuk mencegah keinginan militer melakukan kudeta. Menariknya, sejak awal negosiasi itu dipimpin oleh Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Waheed. Jabatan Presiden diserahkan kepada Wasim Sajjad dan untuk sementara jabatan Perdana Menteri dipegang oleh Moeen Qureshi (birokrat dan pejabat senior Bank Dunia)

Pemilu yang digelar pada 6-7 Oktober 1993 berhasil menggeser dominasi Nawaz dan selanjutnya, Benazir memenangkan kompetisi politik itu dengan menguasai 86 kursi Parlemen, jadi tidak dengan kemenangan mutlak. Sementara Liga Muslim Pakistan yang dipimpin Nawaz saat itu menguasai 72 kursi.  Pemilu itu sendiri dianggap paling bersih, menurut pengamatan internasional. Pada 13 November 1993, Benazir berhasil memberikan pengaruh untuk terpilihnya Farooq Leghari sebagai Presiden. Farooq adalah politisi Partai Rakyat Pakistan dan memperoleh pendidikan di Oxford University, Inggris. Farooq berhasil mengalahkan Presiden sementara, Wassim Sajjad, dengan dukungan suara 273 banding 167.

Pemilu Februari 1997 kembali mengorbitkan Nawaz dengan memperoleh mayoritas parlemen dengan 134 kursi, sementara Partai Rakyat Pakistan hanya memperoleh 18 kursi. Setelah dilantik pada Februari 1997, Nawaz mengusulkan perubahan konstitusi dan terlaksana pada 1 April 1997. Konstitusi menghapuskan wewenang Presiden untuk membubarkan Parlemen dan memecat Perdana Menteri. Dalam mengangkat Gubernur, Presiden harus memperhatikan pertimbangan Perdana Menteri. Presiden tak lagi mempunyai wewenang menunjuk Panglima Angkatan Bersenjata.

Nawaz secara sistematik juga mengurangi peran pengadilan. Nawaz mengurangi hakim agung dari 17 menjadi 12. Ketua Mahkamah Agung Sajjad Ali Shah mengajukan 5 calon hakim agung kepada Presiden Farooq tetapi ditolaknya. Nawaz mencurigai Presiden akan memecat Ketua Mahkamah Agung atas tindakannya itu sehingga buru-buru meminta Parlemen untuk memberikan persetujuan. Nawz menerima pencalonan hakim agung itu pada 31 Oktober 1997. Pada 2 Desember 1997, Presiden Farooq mengundurkan diri. Nawaz kemudian menunjuk Rafiq Tarar, kawan ayahnya, untuk menjadi Presiden.

Ketika Nawaz menerima permohonan pengunduran diri Panglima Angkatan Bersenjata Jahangir Karamat pada Oktober 1998, ia mencoba untuk menempatkan saudaranya, Letnan Jenderal Kwaja Ziaduddin sebagai penggantinya. Tetapi usaha ini ditentang kalangan militer, terutama Jenderal Pervez Musharraf, Kepala Staf Angkatan Darat.

Setelah peristiwa “Perang Kargil” di pertengahan 1999, pertentangan antara Nawaz dan militer memuncak. Keinginan Nawaz menunjuk saudaranya (yang telah ditunjuk menjadi Kepala Badan Intelijen) menjadi Panglima Angkatan Bersenjata memicu Musharraf untuk melakukan kudeta pada 12 Oktober 1999. Di samping membatalkan konstitusi, Musharraf pada 14 Oktober 1999 menetapkan berlakunya negara dalam keadaan darurat. Musharraf pun mengulang mantra pendahulunya yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil dengan menunjuk “pembajakan demokrasi, korupsi, dan kebutuhan untuk menjaga ketertiban” sebagai alasan kudeta.

Setelah itu, Nawaz bersama lusinan politisi lain menghadapi peradilan dengan tuduhan melakukan korupsi. Saat itu, Benazir juga sudah mengasingkan diri ke London. Akibatnya, partai politik utama, sekalipun eksis tidak mempunyai pemimpin. Setelah itu, 6 dari 13 hakim agung, termasuk hakim agung, bersedia untuk mengucapkan sumpah kembali di hadapan rezim Musharraf.

Nawaz kemudian dilarang berpolitik dan mengasingkan diri ke Arab Saudi. Akibat tekanan massa dan krisis politik di penghujung 2007, dan setelah upaya Musharraf mencegah kembalinya Nawaz gagal, maka Nawaz pun kembali ke Pakistan. Pembunuhan terhadap Benazir Bhutto pada Desember 2007 menumbuhkan simpati rakyat untuk memilih Asif Ali Zardari—yang telah memperoleh kesempatan untuk dibebaskan dari peradilan korupsi oleh Musharraf menjadi Presiden. Awalnya Nawaz berkomitmen membawa partainya, Liga Muslim Pakistan, untuk berkoalisi dengan Asif, tetapi kemudian ia mengundurkan diri dan menjadi oposisi.

Nawaz memang politikus Pakistan yang penuh warna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun