Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden yang Tewas di Istananya

25 April 2013   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:37 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Angkatan Udara sudah menggepur pemancar Istana…Saya tidak akan pernah mundur. Dalam posisi yang bersejarah, saya sudah mewakafkan kehidupan saya untuk melayani orang-orang. Dan saya katakana kepada Anda bahwa saya yakin akan perjuangan yang akan menjadi keyakinan ribuan penduduk Chile, yang tak akan pernah sekalipun goyah. Rakyat memiliki kuasanya sendiri, mereka dapat memutuskan siapa yang akan diikuti, tetapi tidak akan pernah menghentikan proses sosial, baik karena kejahatan maupun kekuatan. Sejarah adalah kita semua dan itu ditentukan oleh masyarakat kita...dalam kesempatan terakhir ini, saat di mana saya akan terakhir kali menjumpai Anda, saya harap Anda akan mengambil hikmah dari pelajaran ini: modal asing, imperalisme, kesatuan aksi, telah menciptakan iklim di mana Angkatan Bersenjata melanggar tradisi mereka,…korban-korban di sektor sosial yang sama yang hari ini akan memberi harapan kepada tangan-tangan asing untuk merebut kembali serta mempertahankan keuentungan-keuntungan dari masyarakat kapitalisme….Hidup Chile! Hidup rakyat! Hidup pekerja! Ini adalah kata-kata terakhir saya dan saya akan selalu yakin bahwa pengorbanan saya akan tidak akan sia-sia, saya yakin selamanya, saya akan menjadi pelajaran moral bagi kejahatan, sikap pengecut, dan pengkhianatan.

Kata-kata di atas merupakan cuplikan pidato terakhir kali dari pemimpin Chile, Presiden Salvador Allende (1970-1973) pada saat dikepung oleh tentara dan pesawat-pesawat Angkatan Udara sudah memborbadir Istana Kepresidenan. Saat tentara, yang melakukan kudeta atas perintah Jenderal Augosta Pinochet itu merangsek ke istana, Salvador Allende, presiden yang terpilih demokratis dalam pemilu 1973 dan berhalauan sosialis itu, telah ditemukan tewas. Ia memerintahkan putrid tunggalnya untuk melarikan diri saat situasi sudah genting tetapi dia menolak meninggalkan Istana sebagai wujud tanggung jawabnya. Kejadian itu menghantarkan Augosta Pinochet membentuk junta militer yang represif dengan sokongan penuh Amerika Serikat sampai akhirnya terbentuk pemerintahan sipil baru di tahun 1989.

Pada bulan September 1970, pemilih Chile telah memutuskan pilihan terhadap 3 calon presiden: Radomiro Tomic (calon Partai Kristen Demokrat, Presiden Chile 1964-1970), Jorge Alessandri (kandidat independen beraliran kanan), dan Salvador Allende (anggota Partai Sosialis Chile dan dicalonlkan oleh 6 partai berhalauan kiri yang lain dalam koalisi yang dikenal sebagai Popular Unity). Allande kemudian memenangkan pemungutan suara dengan margin yang tipis, karena tidak memperoleh suara mayoritas (hanya sekitar 36,3%). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar yang berlaku saat itu, Konstitusi 1925, Konggres yang akhirnya harus memutuskan siapa diantara kandidat yang menjabat Presiden, memilih diantara Allende dan kandidat yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu, Allesandri.

Pemilu dan pelaksanaan wewenang Konggres itu berlangsung dalam waktu 4 Septembe sampai 4 Oktober 1970 yang ditandai dengan ekonomi yang kelam dan tensi politik yang meningkat, karena pertentangan secara aktif maupun pasif dari kalangan pelaku usaha dan politisi kanan melawan pemilu yang menghadirkan calon berhalauan Marxis. Pemerintah Amerika Serikat dan pelaku usaha mencoba mencegah terpilihnya Allende.

Presiden Nixon memerintahkan Duta Besar di Chile untuk “melakukan segala sesuatu guna mencegah Allende berkuasa.” Dan kepada militer Chile dijanjikan “bantuan secara penuh untuk melawan Allende.” Pada tahun 1972 kelak, terungkap bahwa Amerika Serikat menggelontorkan uang hingga 10 juta dollar guna pembelian pesawat dan logistic tempur Angkatan Udara.

Pada akhirnya, Allende mencapai kesepakatan dengan Partai Kristen Demokrat untuk tundur kepada aturan konstitusi, dan Konggres akhirnya menyepakati Allende sebagai Presiden pada 24 Oktober 1970. Namun akhirnya kesepakatan yang dibangun dengan Partai Kristen itu tidak pernah dijalankan oleh Allende. Bagi Allende, kesepakatan itu sudah tutup buku dan “tidak lebih dari sekadar upaya taktis belaka.” Allende sendiri mengenal baik Fidel Castro dan dalam posisinya sebagai Ketua Senat sebelumnya ia sering memberikan dukungan bagi Kuba.

Program-program pemerintahan Allende bersifat demokratis, jalan damai menuju sosialisme, dan yang paling penting adalah hal-hal mendesak seperti pembagian pendapatan, lapangan kerja, reformasi agrarian, nasionalisasi bank dan lepas dari itu semuanya, kesediaan untuk menghormati demokrasi dan hak-hak asasi sepanjang waktu. Upah pekerja diperhatikan, pengangguran menurun, dan reformasi agraria dipercepat, dan pada Juli 1971, Konggres Chile dnegan suara bulat melakukan amandemen konstitusi untuk menasionalisasi pertambangan (tembaga menyokong 80% ekspor Chile).  Lebih dari 50% usaha industri diambil alih dan dikendalikan negara.

Tahun 1971 nampaknya merupakan tahun-tahun kesuksesan bagi program pemerintah, akan tetapi kalangan pakar ekonomi—kebanyakan dari kalangan oposisi—mengkritik keras kebijakan semacam yang dianggap tak lebih sekedar langkah jangka pendek saja. Bahkan, pada tahun 1972, ekonomi menurun dan saat yang sama, polarisasi politik menguat sebagai sebab dan hasil dari kesulitan-kesulitan ekonomi. Masalah utama yang mengemuka adalah ketersediaan pangan dalam jangka pendek, munculnya pasar gelap, inflasi, defisit anggaran, dan ketimpangan bantuan luar negeri.

Kalangan oposisi mulai semakin bersemangat menyalahkan pemerintah; sekalipun pemerintah balik menyerang bahwa kekacauan ekonomi itu akibat ulah oposisi dan cengkeraman “perangkap gelap” yang disponsori oleh Amerika Serikat (perangkap itu adalah penundaan pinjaman dan pemerasan ekonomi). Langkah ini menurunkan tensi politik untuk sementara waktu, situasi negara berubah sejak 1973 yang berkembang semakin dalam.

Dalam situasi tersebut, Angkatan Bersenjata mulai melanggar tradisi dalam 40 tahun terakhir untuk tidak memasuki lapangan politik praktis. Bahkan, Presiden Allende sendiri yang mengundang pemuka militer pada Oktober 1972 untuk memberikan legitimasi dan dukungan kepada pemerintahnya. Untuk mengkonsolidasi dukungan militer kepadanya, Allende mengganti Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Carlos Prats ke Jenderal Augusto Pinochet. Pimpinan Angkatan Laut diganti dari Laksamana Montero kepada Laksamana Jose Teribio Merino Castro; Pimpinan Angkatan Udara diserahkan kepada Marsekal Gustavo Leigh Guzman dan kepolisian dipimpin oleh Jenderal Mendoza.

Sementara itu, Allende mulai sering mengabaikan hukum, termasuk tidak menggubris putusan Mahkamah Agung yang menguji tindakan-tindakan pemerintah. Gugatan pelaku usaha yang terkena nasionalisasi atau tuntutan kerugian dari pemilik tanah yang diretribusi, tidak pernah didengar oleh pemerintah. Bagi Allende, “sepanjang masa revolusi, kekuasaan politiklah yang mempunyai wewenang untuk memberikan putusan akhir.” Dalam sebuah surat 26 Juni 1973, Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan Presiden semacam itu menunjukkan, “kekuasaan dan wewenang kekuasana kehakiman telah dihina oleh Yang Mulia Presiden, hal ini membenarkan dan menunjukkan kenyataan yang jelas adanya ejekan terhadap pengadilan yang dipertontonkan oleh eksekutif.”

Sikap oposisi diharapkan muncul dan secara tradisional diwakili oleh Partai Kristen Demokrat, tetapi sudah menyusut pamornya. Harapan terakhir bagi oposisi adalah melenyapkan warisan Allende secara legal dengan memenangkan 2/3 kursi Konggres dalam Pemilu Maret 1973 yang berpotensi bisa memecat Allende.

Namun kenyataannya, oposisi hanya memperoleh 55% kursi. Sesudah pemilu, Chile bergerak cepat ke dalam kekacauan: situasi ekonomi buruk, popularitas eksekutif merosot, legislatif-pengadilan saling serang, dan kaum garis keras (kanan dan kiri) mulai melakukan tindakn-tindakan radikal. Pada 8 Juli 1973, Ketua DPR Luis Pareto dan Ketua Senat Eduardo Frei mengeluarkan pernyataan resmi bahwa “inflasi sudah mencapai batas yang tidak dapat ditoleransi lagi”, bahwa “kekerasan dan kekejaman yang terorganisasi telah merusak negara”, dan bahwa “ tidak ada lagi hukum dan institusi yang diabaikan.” Bahkan kedua pejabat menambahkan, “lapangan demokrasi yang kami wakili tidak lagi kuat” tetapi “Pemerintah selama berbulan-bulan melakukan kampanya publik yang membayakan bagi timbulnya perang sipil terkesan lepas tangan dan memancing tindakan-tindakan konfrotatif diantara rakyat Chile.” Dalam suatu kesempatan wawancara dengan majalah Der Spiegel, Carlos Matus, salah satu menteri ekonomi Allende mengatakan, “andai seseorang menggunakan pandangan ekonomi konservatif, maka negara kami ada dalam keadaan krisis. Andaikata pemerintah sebelum ini menemukan situasi yang sama dengan kami, maka pemerintah berharap ini akan berakhir. Tetapi apa yang dianggap krisis bagi pihak lain, bagi kami adalah solusi.”

Dengan dikooptasinya militer ke dalam pemerintahan, maka justru membuat kesatuan diantara semua matra angkatan menguat dan bahkan mereka kemudian lebih bisa mengambil keputusan yang independen.  Kesatuan militer di bawah pimpinan baru menjadi kompak. Akhirnya, pada 11 September 1973, militer Chile melakukan kudeta. Secara efektif mereka berhasil mengambil alih stasiun radio dan televisi dan juga gedung-gedung pemerintahan. Pada pukul 11 siang hari itu, nyaris militer telah melakukan kontrol penuh dan Presiden Allande, putrinya, dan teman dekat terperangkap di La Moneda Palace, istana kepresidenan, yang dibombardir oleh pesawat Angkatan Udara.

Putri Allende sudah diperintahkan untuk mengungsi, dan Allende berjanji akan menyusulnya. Tetap saat dokter kepresidenan Patricio Guijon Klein, kembali untuk menyerahkan masker gas, dia melihat Presiden Allende telah mengarahkan senapan ke kerongkongannya dan siap untuk diledakkan. Guijon sama sekali tidak kuasa untuk mencegah dan dia masih berdiri di samping Presiden saat para tentara menyerbu masuk ke dalam ruangan. Namun fakta detik-detik menjelang kematian Allende itu terus menerus diragukan. Suatu penyelidikan kelak oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk oleh Presiden Patricio Aylwin menyimpulkan bahwa Allende telah meninggal dunia karena bunuh diri.

Menyimak pidato menjelang kematiannya dan dedikasinya kepada negara, lepas dari tindakan-tindakan politiknya, Allende adalah cermin pemimpin yang tidak mau lepas tangan. Sekalipun dia tahu siapa yang mengkhianati dan kekuatan asing di belakang itu, Allende mempertahankan keyakinan politiknya dan tidak meninggalkan negara ketika situasi sedemikian kalut. Allende pun mati di istananya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun