Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Statistik Berbalut Politik: Peran Quick Count dalam Pemilu

6 April 2014   22:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perhitungan cepat (quick count) sebagai prakiraan hasil Pemilu telah populer di Indonesia dan berkembang sedemikian cepat dalam 15 tahun terakhir. Berbagai lembaga telah berdiri untuk memberikan layanan perhitungan cepat itu. Diantara lembaga tersebut, merangkap pula fungsi melakukan survey opini publik terhadap persoalan politik, konsultasi politik, hingga layanan pemenangan kandidat dalam Pemilu, termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilukada.

Perhitungan cepat dikenal pula dengan istilah “a parallel vote tabulation” (PVT),

Pada satu sisi inilah era kemenangan ilmu pengetahuan. Perhitungan cepat merupakan metode akurat untuk memonitor perkembangan pemilu. Ada upaya untuk menjaga ketertiban dan kebersihan penyelenggaraan pemilu. Data dan metode statistik memegang peran utama, sehingga pelaksanaannya tunduk kepada kaidah ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Perhitungan cepat dengan demikian harus dibedakan dengan survey opini publik. Sebab, dalam perhitungan cepat tidaklah dilakukan kolektivisasi data dengan bertanya kepada orang per orang, dan tidak pula memberikan pertanyaan dengan disodorkan alternatif jawaban. Dalam pemilu, sebagai sarana prakiraan perolehan suara, metode perhitungan cepat tak libatkan pengumpulan informasi dari setiap TPS, melainkan diperoleh dari sampel TPS secara acak. Hasil segera disusun dan biasanya cukup akurat karena hanya melibatkan “a very small margin of error.”

Mengapa bisa begitu? Bagaimaan dengan mengumpulkan data secara  random (acak) dapat muncul hasil yang menunjukkan prakiraan yang meyakinkan? Sekali lagi inilah kemenangan ilmu pengetahuan, kemenangan statistik. Tetapi sekali statistic berbalut politik, maka macam-macam tudingan akan muncul: akurasi data, keberpihakan, sudah dapat bayaran, dan sebagainya. Penyelenggara perhitungan cepat yang baik akan selalu memegang teguh kaidah ilmiah dalam metode dan data statistik.

Seperti kata Harry Emerson Fosdick (1878-1969), demokrasi yang baik bertumpu kepada keyakinan bahwa “ada kemungkinan luar biasa yang muncul dari rakyat biasa.” Diantara kemungkinan itu adalah suara (vote) masyarakat dalam preferensi politik. Perhitungan cepat digunakan untuk mengawasi suara sebagai suatu kenyataan aritmatika.

Perhitungan cepat penting untuk memantapkan demokrasi electoral. Ia bukan saja menunjukkan partisipasi aktif publik di luar lembaga resmi penyelenggara pemilu, akan tetapi menjadi salah satu instrumen penting agar pemilu berintegritas dan adil dapat terjaga. Mari kita lihat sejumlah praktik pemilu berkaitan dengan eksistensi perhitungan cepat ini.

1.Filipina, 1986. Laporan hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum yang mengumumkan kemenangan Presiden Ferdinand Maros diragukan. Oleh karena  itu National Citizens Movement for Free Elections for President (NAMFREL), pada tahun 1986 memperkenalkan untuk pertama kali—bahkan di Asia—metode perhitungan cepat yang menunjukkan kekeliruan lembaga penyelenggara atas 90 ribu TPS. NAMREL menggunakan metode acak yang menghasilkan data meyakinkan dan menunjukkan kecurangan perhitungan oleh rezim Marcos.

2.Chile, 1988. The Committee for Free Elections (CEL) mampu menghasilkan data yang menggambarkan perolehan suara dari 22 ribu TPS. Saat itu, diadakan pemilu sebagai referendum, apakah rakyat setuju mengizinkan Jenderal Pinochet menjadi Kepala Negara sesudah menjalankan kediktatoran sejak 1973. CEL—dengan menggunakan sampel 10% TPS mengumumkan bahwa mayoritas rakyat menolak Pinochet. Pendapat CEL dikuatkan oleh pernyataan pemerintahan junta militer yang mengaku kalah. Para pengamat yakin, dengan pengakuan itu, bahwa rezim sebenarnya telah mendesain agar pemilu memihak kepada junta militer.

3.Panama, 1989. Saat hasil perhitungan resmi menunjukkan kekalahan Presiden Manuel Noriega, segera pemerintah membatalkan proses perhitungan suara. Kalangan Gereja bersama-sama oposisi melaksanakan perhitungan cepat yang komprehensif dan menghasilkan perhitungan bahwa Noriega kalah. Tak lama kemudian, Noriega—yang awalnya sekutu Paman Sam—diciduk oleh CIA dan diadili di AS.

4.Bulgaria, 1990. Setelah tumbangnya rezim komunis, pemilu demokratis digelar. Partai komunis tetap menjadi kandidat setelah melakukan transformasi politik yang mendukung situasi baru. Sayangnya, hasil menunjukkan partai oposisi kalah dan partai komunis menang. Segera saja negara rebut dan 60 ribu massa turun mengepung ibukota Sofia. The Bulgarian Association for Fair Elections and Civil Rights (BAFECR), sebuah organisasi sipil independen, memperoleh dukungan oposisi untuk menggelar perhitungan cepat. Hasilnya: kalangan oposisi memang kalah, tetapi itu hasil dari pemilu yang fair dan tanpa kecurangan. Keributan dapat dihindari dan para demonstran kemudian kembali dalam damai.

5.Dominica, 1996. Kalangan oposisi menuduh kemenangan Joaquin Balaguer sebagai Presiden dilakukan dengan pemilu curang. Citizen Partisipation (CP), sebuah organisasi sipil independen, dengan perhitungan cepat mengumumkan laporan bahwa memang dalam proses pemilu ditemui tindakan-tindakan yang tidak fair.

6.Kenya, 1997. Masyarakat sipil mengerahkan hampir 28 ribu relawan untuk memantau jalannya pemilu. Pengawas pemilu diterjunkan di 14 ribu TPS. The Catholic Justice and Peace Commission, melaksanakan perhitungan cepat. Pengumpulan data begitu lambat dan ini mengkonfirmasikan bahwa penyelenggara pemilu telah melaksanakan kekeliruan.

7.Indonesia, 1999. Forum Rektor Indonesia, untuk pertama kali melaksanakan perhitungan cepat atas pemilu yang demokratis pasca Orde Baru. Masalah tabulasi suara yang mengemuka saat itu berhasil dicegah dan rumor-rumor negatif kecurangan pemilu dapat dinetralisir.

Demikian pula untuk pemilu 2004 dan 2009, peranan perhitungan cepat telah memberikan kontribusi penting untuk mengawal demokrasi electoral. Sudah tentu, sekali lagi, menjadi tanggung jawab penyelenggara perhitungan cepat untuk tetap menghormati kaidah-kaidah ilmiah dan metode yang rasional, untuk dapat berperan dalam pemilu. Informasi mereka ditunggu oleh publik, sekalipun bukan dalam pengertian mempengaruhi. Lagipula, perhitungan cepat bukan hasil resmi.

Tentu saja repot kalau statistic berbalut politik. Kita berharap di Pemilu 2014 ilmu pengetahuan tetap mengemuka dan obyektifitas perhitungan cepat dapat membantu publik untuk memperoleh informasi pembanding supaya segala proses dan penetapan pemilu dapat dikawal. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun