Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Konflik Identitas Di Sri Lanka

6 April 2014   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 2354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Pada sisi lain, etnis Tamil bertutur dalam Bahasa Tamil dan mayoritas mereka beragama Hindu. Mereka dibawa oleh colonial Inggris untuk menjadi pekerja di perkebunan pada era tahun1830-an. Baik Hindu maupun Budha sesungguhnya berasal dari India dan keduanya eksis di Sri Lanka dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun, setelahpaska kemerdekaan ketika perebutan kekuasaan dimulai dan agama serta etnis menjadi faktor pendorong maka lahirlah konflik etnis berdarah (Zwier, 1998: 13-15). Dengan demikian, agama, etnis, dan perbedaan Bahasa memainkan peran signifikan atas munculnya konflik.


  1. Penjajahan Inggris dan Dendam Masa Lalu


Sri Lanka mengalami penjajahan Portugal, Belanda, dan  Inggris. Tetapi Inggris yang meninggalkan warisan paling mendalam dibandingkan Belanda. Inggris mengembangkan kebijakan yang menyokong pembedaan etnis dalam masyarakat. Inggris lebih memberikan perhatian kepada etnis Tamil.

Ketika dikuasai Portugal dan Belanda, bahasa penjajah hanyalah untuk urusan formal pemerintahan, sementara dalam pergaulan sehari-hari digunakan bahasa setempat. Akan tetapi Inggris memaksakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Pada 1833, saat Inggris membentuk pemerintahan yang sentralistis, rakyat Sri Lanka terpaksa harus menguasai bahasa itu, karena hanya dengan penguasaan tersebut mereka akan memperoleh lapangan pekerjaan.

Pendidikan yang baik dapat ditempuh oleh kalangan etnis Tamil, sementara etnis Sinhala dicuragai oleh misionaris Katolik dan sekolah-sekolah Inggris. Hal ini kemudian menimbulkan hierarki kelas (Kearny, 1967: 56-57). Penduduk yang menguasai bahasa Inggris memperoleh pekerjaan dan gaji yang layak dari pemerintah colonial. Sementara kalangan etnis Sinhala hanya menjadi budak, buruh, dan pedagang di pedesaan.

Ketengan segera muncul begitu etnis Sinhala sadar bahwa etnis Tamil memperoleh keuntungan begitu banyak sejak masa colonial. Dendam masa lalu inilah yang kemudian setelah kemerdekaan memincu prasangka negatif. Penyebab lain adalah bahwa kalangan Tamil dibawa oleh pemerintah colonial Inggris dari kawasan India Selatan . Sinhala mengecap mereka sebagai orang asing. Sinhala cemas jika Tamil bersama-sama kalangan Islam akan mengendalikan negara itu (Taras dan Ganguly, 2010: 179-180). Oleh karena itu, di bawah penjajahan Inggris, muncul benih-benih dendam antara Sinhala dan Tamil, dan melahirkan tekanana mayoritas Sinhala terhadap minoritas Tamil.


  1. Situasi Paska Kemerdekaan dan Diskriminasi Kebudayaan


Setelah memperoleh kemerdekaan, mayoritas Sinhala mengendalikan negara. Mereka enggan berbagi kekuasaan dengan kalangan minoritas. Minoritas kemudian mengalami perlakuan buruk setelah kemerdekaan Sri Lanka.

Karena ancaman etnis minoritas, Wickramasinghe mengatakan, “Tidak perlu berbicara soal multikulturalisme selagi masih ada ancaman di Sri Lanka dari kalangan minoritas” (Wickramasinghe, 2010: 159).

Sinhala menuduh Tamil mengeruk keuntungan selama penjajahan Inggris. Dendam ini yang kemudian mendorong adanya diskriminasi etnis. Kalangan Tamil tidak memiliki hak pilih setelah kemerdekaan. Pada tahun 1948 dan 1949, Parlemen mengesahkan kalangan Tamil sebagai bukan warganegara. Mereka harus melampirkan bukti untuk menjelaskan asal usul mereka. Hanya 25% permohonan status kewarganegaraan kalangan Tamil yang disahkan, sehingga mayoritas diantara mereka tidak dapat memberikan suara dalam pemilu (Zwier, 1998: 50). Gerakan Bahasa Pribumi dibentuk oleh Sinhala dan mendesak kalangan partai politik untuk menjadikan Sinhala sebagai bahasa resmi.

Pada tahun 1956 diberlakukan undang-undang pengakuan Sinhala sebagai satu-satunya etnis pribumi. Sinhala menjadi satu-satunya bahasa resmi. Kalangan Tamil menuduhnya sebagai upaya dominasi dan menghadirkan situasi saling menekan diantara kedua kelompok etnis itu. Konstitusi 1978 akhirnya mengesahkan baik Sinhala maupun Tamil sebagai bahasa resmi.

Tamil juga tersingkir dari kesempatan ekonomi. Sementara pada masa penjajahan Inggris mereka menjadi pegawai negeri, setelah kemerdekaan kesempatan itu tidak diakui dan diambilalih oleh Sinhala. Undang-undang yang disahkan sebelumnya memaksa kalangan Tamil untuk mengundurkan diri dari birokrasi karena mereka tidak fasih berbahasa Sinhala.

Kesempatan pendidikan akhirnya diperluas bagi kalangan Sinhala. Situasi ini segera mengakhiri dominasi tradisional Tamil. Pada tahun 1970, Partai Koalisi Front Bersatu yang dipimpin oleh Nyonya Sirimavo Bandaraneika menelurkan kebijakan yang mempersulit kalangan Tamil untuk meraih akses atas masuk perguruan tinggi untuk program studi kedokteran, sains, dan teknik. Sejak 1980-an, kebijakan ini dihapus. Tetapi ingatan kolektif akan diskriminasi itu masih tetap melekat dalam benak entis Tamil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun