Saya masih menunggu jawaban lebih panjang. Tapi tidak ada lagi kalimat baru mencuat.
Saya pun memilih membalasnya.
"Iya, om," Saya memilih memanggilnya om karena alasan tertentu.
"Dalam studi hukum tak apa, karena memang sesuai kaidahnya. Studi saya kebetulan soal politik, jadi cara pandang saya tentu dipengaruhi oleh cara pandang saya sebagai ilmuwan dan aktivis politik," tulisku.
Saya tertarik melanjutkan perbincangan, walaupun tak yakin beliau akan membalasnya di malam yang telah larut ini. Di Pakem, di pendopo "Mansour Fakih" di mana saya sedang mengetik, hawa semakin terasa dingin. Suara air yang menderas sisa hujan beberapa jam lalu masih meluncur entah kemana. Tadi saya melihat satu ruas pematang sawah runtuh dihempas derasnya air yang mengalir di sela-sela rumpun padi yang masih muda. O iya, Mansour Fakih adalah pencetus istilah difabel pada tahun 1996 bersama dengan aktivis disabilitas Setyo Adi Purwanta yang segenerasi dengan ‘sang sepuh’ ini. Setelah istilah baru itu digulirkan melalui sebuah tulisan Mas Mansour ‘Panggil saja kami Kaum Difabel’, istilah ini kemudian menjadi wacana tanding atas istilah penyandang cacat dan terus bergulir sampai dua dekade saat ini.
"Saya menemukan di Makassar, persoalan perbedaan peristilahan itu seringkali dibesar-besarkan oleh aktivis disabilitas di sana. Saya berharap saya bisa berjuang dengan teman-teman di Makassar untuk mengatasi segala hambatan yang dihadapi oleh difabel atau penyandang disabilitas.
Tetapi saya tahu, saya pasti menemukan kendala keberterimaan jika saya lebih suka memakai kata difabel. Menurut saya, sikap banyak senior aktivis penyandang disabilitas di Makassar dapat menghambat perkembangan pengetahuan terkait disabilitas jika terus menerus menutup pintu-pintu perbedaan," tulisku lagi.
Tapi tak ada respon sama sekali.
Tapi sesungguhnya bukan soal pintu perbedaan itu yang saya khawatirkan di Makassar. Saya lebih khawatir kalau pintu-pintu perubahan itu terlalu lama tertutup bagi kaum muda di sana. Pada sejumlah Organisasi Penyandang Disabilitas di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, para aktivis lanjut usia tak jua menyerahkan tongkat estafet. Saya tahu benar, orang-orang muda Makassar selalu punya gagasan segar dan energi bergelora demi mewujudkan perubahan yang besar.
Seperti beberapa waktu yang lalu. Beberapa orang muda aktivis disabilitas di Makassar berkumpul di Pusat Rehabilitasi Daksa di jalan Pettarani. Obrolan mereka yang serius dan kegelisahan-kegelisahan lain membuat mereka memilih menciptakan ruangnya sendiri. Mereka mendirikan sebuah organisasi gerakan: PERGERAKAN DIFABEL INDONESIA untuk KESETARAAN disingkat oleh mereka PERDIK!
Apakah penggunaan nama itu menunjukkan suatu bentuk perlawanan orang muda atas kontrol yang sudah semakin berkarat ini? Mungkin saja, tinggal tunggu gebrakan mereka. Tentu saja, saya memilih bergabung dengan mereka.