"Kalau dalam Kajian Disabilitas Kritis, apa yang terjadi saat ini disebut sebagai 'Kolonisasi Disabilitas'. Bentuknya adalah dengan melakukan internasionalisasi perisitilahan disabilitas. Penyeragaman peristilahan, baik dilakukan oleh PBB kepada seluruh negara—contohnya UNCRPD maupun pemerintah Indonesia—melalui UU Penyandang Disabilitas yang tidak mengakomodasi eksistensi dari istilah lain dari berbagai daerah dan institusi adalah bentuk kolonisasi baru berbasis pengetahuan," tulisku sambil sesekali melirik namanya di boks chating.
"Menurut saya, negara bahkan tidak fair dengan hanya mengakomodasi satu istilah saja padahal dalam kenyataannya ada beberapa model praktik yang terjadi. UU Desa menurut saya lebih maju, mengingat mengakomodir dengan nama lain, jadi kita tetap bisa pakai istilah wanua atau parasangang, atau kampung jika kita mau ketimbang pakai istilah Jawa yakni Desa. Perda Perlindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Provinsi Yogyakarta juga mengakomodasi istilah lain dengan bunyi ‘Penyandang Disabilitas atau dengan nama lain’," saya merasa bertambah bersemangat dan berharap beliau mau menyanggah atau membagi apa-apa yang menjadi butir-butir pengetahuannya.
Saya pun melanjutkan tulisan. Lingkaran hijau di depan namanya lenyap, tanda sinyal melesap. Saya berasumsi ‘sang juru ketik’ yang membantunya mungkin sedang tak bersamanya. Tapi saya tetap memilih menulis dan berharap ia akan menjawab di kemudian menit atau jam.
"Lagi pula, bukankah difabel atau penyandang disabilitas juga punya keberagaman? dan apakah kita harus mengingkari keberagaman itu? dan apakah dengan mengingkari keberagaman itu bukan berarti kita sedang menindas eksistensi lain yang seharusnya dihargai sebagai hak setiap orang untuk berekspresi?" begitu saya menutup kalimat dan memilih berhenti. Semangatku mulai mengendur. Lingkaran hijau tak jua muncul.
Saya lalu chating dengan seorang kawan yang baik hati yang sedang kuliah di Philipina. Katanya, kakinya bengkak karena keseleo. Perjalanan ke kedutaan Indonesia di Manila dan kantor kedutaan yang tidak akses bagi dia yang kecil. "Bahkan orang-orangnya sekalipun juga 'tidak akses'," katanya. Aku menangkap ucapannya itu dengan asumsi orang kedutaan yang tak mengetahui bagaimana beretika dengan perempuan kecil.
"Manila kotanya mirip jakarta, panas dan berdebu, dan sempat ada thyphoon," ujarnya mengalihkan obrolan soal kakinya.
"Orang-orangnya mayoritas tinggi hati dan mengira Indonesia negara terbelakang!" ada nada kejengkelan dalam kalimat itu.
Tapi perbincangan kami kemudian tak berlanjut soal kedutaan dan orang Manila. Tapi ke hal lain yang lebih ringan. Tentang "bunga yang sedang layu".
Saya melirik ke boks chatting di sisi kiri. Sang sepuh memberi jawaban pendek.
"Penulisan ilmiah dalam studi hukum penggunaan terminologi hanya boleh berdasarkan istilah resmi dalam hukum positif . Istilah lain yang mempunyai padanan arti, hanya berfungsi sebagai pembanding. Tapi saya tidak tahu kalau studi non hukum seperti politik,"
Aku menemukan kerendahan hati seorang akademisi. Ia memang seorang dosen dan saat ini sibuk mengajar di salah satu kampus di Jawa.