Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Pakai Kata Difabel Kalau Anda di Makassar!

24 Januari 2017   08:46 Diperbarui: 24 Januari 2017   09:05 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang aktivis Penyandang Disabilitas yang sudah sepuh dan saya hormati bertanya kepada saya soal mengapa judul proposal disertasi saya memakai kata difabel ketimbang 'penyandang disabilitas'. Judul itu adalah "Politik Pencacatan di Indonesia: Praktik Governmentality dalam Kebijakan dan Program Perlindungan Sosial difabel". Pertanyaan itu ia ajukan saat kami chating di fesbuk tadi malam.

Beliau mengatakan, "Kenapa masih pakai istilah difable padahal seluruh peraturan hukum di Indonesia termasuk UU No 8 tahun 2016 [tentang Penyandang Disabilitas]? Tidak ada istilah difabel itu. Istilah resmi yangt dipakai PBB dan juga di formalkan oleh hukum positif Indonesia adalah penyandang disabilitas," ujarnya datar.

Ia seorang buta. Saya agak ragu ia mengetik sendiri kalimat itu. Sejak dulu, ia memiliki orang-orang yang siap membantunya jika hendak meraup informasi dari berbagai media. Ia memiliki pembaca dan tentu saja juru tulis atau juru ketik jika ia punya gagasan untuk ditulisnya. Lagi pula, di saat teknologi informasi berkembang pesat, saya belum pernah melihatnya mengetik dengan menggunakan laptop dengan atau tanpa layar dan headseat yang menempel di telinganya. Untuk penulis buta, layar tak dibutuhkan. Fungsi lain yang akses untuk menopang penuangan gagasan itu sudah lama ada, yakni program screen reader yang dapat membaca teks ‘kata demi kata’ yang terpampang di layar dan program ‘Jaws’ atau ‘damayanti’ yang mengubah hasil pembacaan teks itu menjadi suara.

Atau boleh jadi kini beliau sudah bisa menggunakan ragam teknologi akses terbaru itu. Mungkin hanya karena saya tidak tahu saja.

Kembali ke pertanyaannya, sebenarnya saya tidak terkejut dengan pertanyaan  itu. Bukan satu dua kali orang bertanya kepada saya soal istilah itu. Bahkan beberapa waktu lalu, saya berbincang panjang dengan seorang aktivis muda penyandang disabilitas di sebuah café di Kota Makassar. O iya, saya menggunakan kata ‘penyandang disabilitas’ untuk menghormatinya yang lebih suka menggunakan itu ketimbang kata ‘difbel’. Dia adalah mantan Ketua Pertuni Sulawesi Selatan. Kami berdiskusi banyak hal, termasuk istilah difabel yang rasanya bagi orang Makassar, khususnya aktivis penyandang disabilitas di kota ini wajib menyinggungnya. Terkadang sampai pada taraf mematahkan argumentasi dibalik penggunaan istilah itu. Tetapi saya punya argumentasi dan data yang cukup memadai untuk menjawab sejumlah sanggahan.

Saya memahami mengapa sebagian aktivis atau pegiat isu disabilitas di Makassar lebih cocok memakai istilah penyandang disabilitas, ketimbang difabel. Lagi pula, bukankah sejak dulu, sebelum Pemerintah meratifikasi UN-CRPD (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities) banyak orang sudah memakai istilah Penyandang Cacat dan mengamini ‘kecacatan’ itu sebagai persoalan pada tubuhnya. Negara mengamini peristilahan berbasis medik ini dan pemerintah menuangkannya ke dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Istilah ini, sebagai bentuk pelabelan kemudian diterima sebagai cara untuk mengategorisasikan, mendiagnosis dan kemudian merumuskan sejumlah resep kebijakan dan bantuan sosial guna mengatasi masalah-masalah disabilitas.

Sebetulnya, saya malas mengurusi perbedaan itu. Saya lebih senang kalau para aktivis yang sedang berjuang mengurangi praktik eksklusi, marjinalisasi, dan pemiskinan terhadap penyandang disabilitas atau difabel (apapun istilah yang dipilihnya) memilih bersatu ketimbang mengurusi soal-soal peristilahan. Pekerjaan rumah terlalu banyak dan berderet panjang buat diretas dan diselesaikan satu demi satu. Tapi sayangnya, isitlah difabel ini bagi sebagian aktivis disabilitas bak ‘laksana duri dalam daging’ atau setidaknya laksana sisa makanan yang mendekam dalam rongga gigi yang berlubang, mengganggu kenyamanan.

Itulah mengapa saya tetap saja tertarik kalau orang-orang mau berdiskusi dalam kerangka mencari pengetahuan baru yang lebih mencerahkan, namun saya mau tidak begitu getol mengandalkan urat leher untuk berdebat.

Akhirnya dengan sedikit bersemangat saya menghargai pertanyaan sang sepuh dengan menjawabnya berapi-api berharap beliau bisa sedikit lebih serius menanggapinya.

"Difabel itu faktual ada om, dari segi konsep ada banyak buku merujuk kepada istilah itu. Dari segi historis juga segaris dengan gerakan "person with different ability" di luar sana. Bahkan, secara de jure juga ada, karena banyak Organisasi Masyarakat Sipil pakai istilah ini dan memiliki legalitas hukum melalui notaris. Apakah om tidak menerima konsep difabel hanya karena secara hukum tidak dipakai nama itu dalam undang-undang?" begitu saya menjawabnya.

Tapi saya belum puas. Saya benar-benar ingin memancingnya berdiskusi lebih serius. Apalagi saya menyadari kalau beliau punya pengalaman panjang dibandingkan saya yang baru seujung kuku pengalamannya bergelut dengan isu disabilitas. Sebuah jabatan publik penting skala nasional pernah ia pegang selama beberapa tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun