Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Difabel Mencapai Puncak Tertinggi Sulawesi

7 Januari 2017   14:04 Diperbarui: 7 Januari 2017   22:39 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa? Karena Orang menganggap atau orang berasumsi bahwa seseorang yang cacat atau menjadi cacat adalah orang tidak mampu, memanggul dosa masa lalu, menerima kutukan dan pada akhirnya disisihkan dari pergaulan.

Faktanya kemudian adalah, karena dianggap sakit maka difabel harus menerima resep tertentu secara medik di panti-panti rehabilitasi, menerima perlakuan sebagai pasien yang sedang direhab atau diperbaiki, memperoleh keterampilan-keterampilan hidup untuk pekerjaan di sektor-sektor informal dengan ragam keterampilan dasar, dan terabaikan di ranah publik yang lebih luas akibat desain sosial yang mengabaikan karakter atau kondisi uniknya.

Dalam kajian disabilitas, cara pandang dan perlakuan atas difabel yang berangkat dari norma ‘kenormalan’ tubuh manusia disebut ableism atau abelisme. Sebuah cara pandang yang menjadikan kondisi tubuh dan mental yang lengkap sebagai normal, dan kemudian berdasarkan konsep dan konteks ‘manusia normal’ orang mendesain apapun dengan standar itu. Pengabaian keragaman konteks kemanusiaan inilah yang justru paling berkontribusi membuat difabel tidak dapat mengakses apapun dan membawanya kepada kondisi selanjutnya sebagai masyarakat kelas terabaikan (sub-ordination), pinggiran (marginal), terbelakang dan dikasihani sepanjang masa.

Tak dapat dipungkiri, orang-orang pertama yang melakukan trekking di Gunung Latimojong sehingga saat ini ada jalur pendakian  dari pos nol sampai puncak bagi para pendaki atau pejalan dibuat oleh orang-orang “normal” tadi. Dakian demi dakian dalam jalur tersebut hanya dibuat bagi yang berkaki dan bermata awas, tanpa memedulikan bahwa hak mendaki atau berjalan menikmati panorama pengunungan adalah juga menjadi hak bagi orang yang berjalan dengan kruk, kursi roda, orang buta, orang kecil dan seterusnya. Jalur semacam ini bisa menjadi salah satu contoh desain orang normal di antara sekian banyak contoh desain yang dibuat dengan menafikan keberagaman manusia. Mulai dari desain rumah, permukiman dan perumahan, jalur transporasi dan perhubungan, gedung sekolah, perpustakaan, café, kantor perusahaan, pabrik-pabrik, hotel, Tempat Pemungutan Suara, Posyandu, balai desa, dan seterusnya.

Berbeda dengan Eko dan Risma, Rahman yang kemampuan melihatnya sangat terbatas menemui lebih banyak kesulitan melewati jalur di sepanjang pendakian. Aktivitas pendakian di gunung jelas medan jalannya tak beraturan. Di sepanjang hidupnya sebagai difabel netra, belum pernah sekalipun ia mempelajari teknik Orientasi dan Mobilitas (OM) berkarakter gunung. Biasanya ia hanya mempelajari lingkungan rumah atau bangunan pada umumnya. Ini pertama kalinya ia berjalan di gunung. Itulah pula yang membuat para pendamping Rahman menggunakan beragam alat bantu untuk membantunya berjalan/mendaki dengan mudah. Mulai dari trekking pole, tongkat yang digenggam bersama dirinya dan pendamping, memakaikan harness dan menariknya dengan tali prusik, helm dan beragam jenis instruksi untuk menjelaskan bentuk medan yang dilaluinya.

“Teman-teman pendamping kalau memberi instruksi misalnya turunan, kiri jurang, tidak langsung serta merta saya akan merasa nyaman untuk menurun,” ujar Rahman menceritakan pengalamannya.

“Saya mesti mengaitkan sejumlah informasi misalnya kemiringan turunannya bagaimana, Tekstur permukaan tanahnya bagaimana, Sedekat apa jurang di sisi kiri saya.” Lanjutnya Rahman.

“Itulah yang membuat langkah saya menjadi begitu lambat dan setiap langkah saya harus berusaha menvisualkan instruksi pendamping,” katanya tersenyum menyadari kelambanannya.

Dari beberapa cerita pendamping Rahman, upaya menemukan pola komunikasi antara pendamping dan atlet adalah penting.

“Kalau sudah saling sepakat soal pola komunikasinya, maka informasi untuk Rahman bisa lebih efektif disampaikan oleh pedamping,” ujar Caling yang memutuskan turut mendampingi Rahman saat itu.  Jika pola komunikasi keliru atau terlambat sedikit saja info diberikan maka bisa berakibat fatal, misalnya Rahman dapat terjatuh akibat salah memijakkan kaki atau menabrak pohon tepat dihadapannya.Tentu saja ia beberapakali tergelincir dan terjatuh. Misalnya saat wajahnya menabrak tubuh pohon, instruksi baru muncul, “Awas pohon!”

Apa pi, kutabrak mi!” kata Rahman terbahak-bahak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun