Apakah kata atau istilah ‘difabel’ juga adalah sebuah label? Ya, tetapi label ini dan pelabelan istilah tersebut kepada orang-orang tertentu adalah label yang diciptakan sendiri oleh aktivis difabel. Label ini kemudian dipakai dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka dan membentuk suatu identitas spesifik yang tidak mendiskreditkan difabel tetapi justru menempatkan diri mereka lebih sebagai aset ketimbang beban bagi masyarakat maupun negara.
Bandingkan misalnya, difabel adalah akronim dari differently-able yang telah diindonesiakan yang berarti ‘beda kemampuan’. Sementara disabilitas adalah pengindonesiaan dari disability, yang terdiri dari dua suku kata dis-able/ability atau ‘tidak mampu’.
Gagasan di Balik Ekspedisi
Awalnya, gagasan pendakian Gunung Latimojong ini disuarakan oleh Eko sekitar 6 bulan yang lalu. Ia seorang yang memiliki beragam talenta. Umurnya muda dan semangatnya masih membara. Ia mengimpikan sebuah kelompok backpacker disabilitas kelak dan sejumlah mimpi lain untuk membantu difabel. Ia menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang pendaki difabel asal Solo, bernama Sabar Gorky. Sama dengan dirinya, Sabar juga pernah diamputasi satu kakinya. Tetapi Sabar seorang pendaki dan pekerja keras. Saat ini Sabar sudah mendaki 4 Gunung tertinggi dunia seperti Gunung Kilimanjaro 5.892 mdpl (Tanzania, Afrika), Gunung Aconcagua 6.600 mdpl (Argentina), Gunung Elbrus 5.642 mdpl (Rusia), dan puncak Cartenz 4.884 mdpl (Papua, Indonesia). Ia masih menginginkan menapaki puncak-puncak yang lain (sumber, akun facebook Sabar Gorky).
Pendakian gunung Latimojong yang saat ini dilakoninya dengan Rahman dan Risma (Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Kab. Maros) serta 25 pendaki lain dari berbagai kelompok pencinta alam dan tim media adalah gunung pertama yang didaki dalam ekspedisi ini. Mereka menyebutnya sebagai Ekspedisi Difabel Menembus Batas.
Namanya pada awalnya adalah ‘Difabel menembus batas dalam keterbatasan’. Tetapi kemudian setelah mendiskusikan bersama, kata dalam keterbatasan dihilangkan. Mengapa? Karena sesungguhnya ‘keterbatasan’ ada pada setiap orang, siapapun itu, dan keterbatasan juga bisa bertambah karena ketidaksiapan alat bantu dan desain sosial (khususnya infrastruktur publik) di luar diri seseorang.
“Jika kata ‘dalam keterbatasan’ disematkan karena ini dilakukan difabel, maka ini memperpanjang stigma atas difabel,” ujar saya saat mendiskusikan nama ekspedisi ini.
“Setiap orang punya keterbatasan tetapi tidak ada yang tahu di mana garis batas itu berada. Padahal, kita melakukan ekspedisi untuk mengeskplorasi tingkat aksesibilitas mountainering (olah raga mendaki gunung) bagi difabel dan kemudian sekaligus mengampanyekan penghapusan stigma ‘tidak berdaya’ atas difabel,” tambahku menggebu-gebu saat itu.
Setelah menerima gagasan ini dan kami berniat mewujudkannya, mulailah Rahman, Eko dan saya bergerilya mencari dukungan. Rahman memiliki jaringan perkawanan yang luas. Ia menghubungi kawan-kawannya di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Univ. Negeri Makassar (UNM), khususnya yang aktif dalam Kelompok Pencinta Alam (KPA).
Ia bertemu Fuad, kawan kuliahnya yang merupakan pengurus KPA KEPAL. Fuad kemudian menghubungi sejumlah kelompok pencinta alam di Makassar dan Enrekang. Di Makassar ia bertemu dengan pendaki-pendaki dari Forum Pencinta Lingkungan (FPL) Makassar, KPA Capung, KPA PLB UNM dan Makassar Rescue (SAR). Di Enrekang, ia juga menemui beberapa kawan dari KPA Sikolong, KPA PAKIS, khususnya Darwin dan Ma’un yang kemudian kedua orang ini mengabarkan ke KPA Buntu Batu Mario dan KPA Massenrepulu (Mapasse).