Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Malam di Oude Molstraat

8 September 2016   07:25 Diperbarui: 8 September 2016   07:46 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi aku lebih memilih meraih kaos tanganku dan bersiap beranjak pulang ke kamarku di jalan Bazaarlan. Nadia mengangkat dagunya dan mulutnya setengah terbuka. Seperti ada setengah anggur merah di rongga mulut itu. Ingin sekali meminumnya dalam sekali teguk. “Kenapa?” katanya berharap aku tak pulang malam ini.

Begitulah diriku. Terkadang tak mudah menarik keinginan. Aku meraih jemarinya dan melihat pensil merah bergaris hitam itu jatuh dari telapaknya. Ujungnya yang runcing tepat mengenai lantai keramik putih, patah meninggalkan setitik noda hitam. Nadia membiarkannya dan matanya menembus kedua bola mataku.

Aku tahu, dari tampakan kedua bola mata bulatnya, ia lagi-lagi menunjukkan pengharapan. Tapi tekadku lebih bulat untuk pulang. Ia pun melingkarkan lengannya sekali lagi di tubuhku. Berharap sebuah pelukan bisa menahanku tinggal menemaninya. Aroma tulip dari baju kaosnya lagi dan lagi membiusku. Aku balas memeluknya lebih erat. Jantungku berdegup. Aku menciumi sebanyak mungkin helai rambut hitam di kepalanya yang menyandar manja di dadaku.Dorongan kuat dari dalam diriku mengalahkan seluruh kelembutan tubuh Nadia dan harapnya.

Aku tak bisa bermalam di kamarmu, Nadia. Jemari tengah di kedua lenganku menyapu beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Rambut-rambut itu kusangkutkan tepat di belakang kedua daun telinganya yang putih bersih. Nadia tak ingin menangis, hanya kedua matanya saja yang seperti kristal hendak lumer. Ia bisa menahannya seperti kini ia berusaha mengendalikan dirinya untuk menahanku tinggal semalam saja. Aku benar-benar serupa batu karang di lautan malam ini.

Kini jari-jemari di kedua lenganku tepat di belakang kepalanya. Tapak-tapakku jelas merasakan halus helai rambutnya. Tinggal satu hal saja yang perlu kulakukan sebelum beranjak. Aku seperti menahan kepalanya sehalus mungkin. Ia merasakan kelembutan itu dan memejamkan matanya membuatku kehilangan bola Kristal tadi. Tapi aku jadi leluasa memandang celah bibirnya yang beraroma wine itu. Aku memilih tak memejamkan mata. Semua kelembutan didiriku nyaris tak menggerakkan apa-apa. Kita lalu diam seolah batu merapat. Sampai akhirnya aku hanya sanggup meraih keningnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan seperti basah oleh uap air entah dari mana. Kecupan itu meninggalkan bunyi kecil bersamaan dengan mataku yang memejam. Nadia memelukku lebih erat sekali lagi dan lingkar lengan itu akhirnya pasrah melepaskan diri satu sama lain. Akupun terbebas dan melepaskan senyum memberinya kepercayaan untuk tidak takut sendiri.

Aku menelusuri lorong student housing Oude Molstraat ini. Di setiap langkah di kelipatan sepuluh di sisi kiri dan kananku kudapati pintu-pintu kamar yang tertutup rapat. Di ujung pintu keluar aku menengok ke belakang. Di depan pintunya aku masih melihat Nadia menatapku. Ia melambai dan aku tersenyum saja dan berlalu.

Dinding kamarku putih bersih. Gordennya berwarna krem. Aku hanya mau membaca di sisa malam semampu aku bisa. Jarum panjang dan pendek di arloji hadiah pernikahan istriku itu keduanya merapat. seperti baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah. Angka dalam kotak kecilnya pun telah beralih. Angka 9 tanggal oleh dua 1 dan 0. Ini bulan September di Belanda tahun 2006. Daun-daun jatuh di musim gugur. Aku berdiri dari tempat tidurku dan meraih buku cultivating development karangan David Mosse yang kupinjam di perpustakaan siang tadi. Laptop kubiarkan tertutup dan aku tak menginginkan ada musik malam ini.

Di belahan lain bumi ini, langit jingga memudar di atas rumahku di Makassar. Subuh telah usai dan pagi meruak angkasa. Istriku masih mengenakan mukena putihnya.Matanya basah oleh doa-doa yang ia panjatkan kepadaNya. Anak lelakiku yang baru berusia 11 bulan tertidur pulas tak tahu kalau ibunya sudah bangun sejak pukul 3 tadi[].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun