Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Pencinta Kretek di Negeri Kincir Angin

2 September 2016   18:41 Diperbarui: 2 September 2016   19:46 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melepaskan asap kretek dengan sekali hembusan. Pandangan Anja menengadah menembus angkasa putih. Asap kretek dari mulutnya nyaris tak tampak karena tersapu putih awan yang menggumpal serupa kapas-kapas raksasa.

Petani-petani tembakau juga sudah keluar dari kebun mereka. Mereka memenuhi jalan-jalan raya Jakarta. Meneriakkan kebencian pada elit politik yang dungu memahami nasib petani. Mereka menolak peraturan yang tunduk pada kemauan dunia tapi merugikan keluarga petani. Para ahli hukum menertawai aturan yang dipaksakan ini. Orang-orang bertanya, mengapa hanya tembakau? Mengapa hanya tembakau? Pemerintah yang bodoh menjawab, kami tak melarang petani menanam tembakau. Hak setiap petani menanam apa yang mereka ingin tanam. Tapi kesehatan orang banyak juga penting.

Aku menatap Anja. Ia balas menatapku. Ia tahu, jarak sejauh 16 jam perjalanan menjadi kendala aku hadir di tengah petani-petani yang gelisah dan marah itu. Aku juga memahami keterbatasan diri ini. Ia menggenggam jemariku yang terbungkus sarung tangan berwarna kelabu.

“I’ll be with you, here,” ia mengucapkannya tanpa menatapku. Aku menoleh kepadanya. Ia tetap tak memalingkan wajahnya. Dua jari yang mengapit sebatang kreteknya mendekati bibirnya yang basah oleh sapuan lip-gloss. Aku membalas meremas lembut jemarinya. Aku tiba-tiba merasa hangat di suhu 5 derajat celcius ini. aku menengadah juga pada akhirnya. Mengisap kretekku sekali lagi dan menghembuskan bulatan-bulatan yang kuharap menjelma menjadi tanda-tanda hati berwarna putih. Ia menatap bulatan-bulatan yang berkejaran itu dan melakukan hal yang sama. Kami tersenyum bersama sambil tetap saling menggenggam jemari yang mulai menghangat[].  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun