Aku melepaskan asap kretek dengan sekali hembusan. Pandangan Anja menengadah menembus angkasa putih. Asap kretek dari mulutnya nyaris tak tampak karena tersapu putih awan yang menggumpal serupa kapas-kapas raksasa.
Petani-petani tembakau juga sudah keluar dari kebun mereka. Mereka memenuhi jalan-jalan raya Jakarta. Meneriakkan kebencian pada elit politik yang dungu memahami nasib petani. Mereka menolak peraturan yang tunduk pada kemauan dunia tapi merugikan keluarga petani. Para ahli hukum menertawai aturan yang dipaksakan ini. Orang-orang bertanya, mengapa hanya tembakau? Mengapa hanya tembakau? Pemerintah yang bodoh menjawab, kami tak melarang petani menanam tembakau. Hak setiap petani menanam apa yang mereka ingin tanam. Tapi kesehatan orang banyak juga penting.
Aku menatap Anja. Ia balas menatapku. Ia tahu, jarak sejauh 16 jam perjalanan menjadi kendala aku hadir di tengah petani-petani yang gelisah dan marah itu. Aku juga memahami keterbatasan diri ini. Ia menggenggam jemariku yang terbungkus sarung tangan berwarna kelabu.
“I’ll be with you, here,” ia mengucapkannya tanpa menatapku. Aku menoleh kepadanya. Ia tetap tak memalingkan wajahnya. Dua jari yang mengapit sebatang kreteknya mendekati bibirnya yang basah oleh sapuan lip-gloss. Aku membalas meremas lembut jemarinya. Aku tiba-tiba merasa hangat di suhu 5 derajat celcius ini. aku menengadah juga pada akhirnya. Mengisap kretekku sekali lagi dan menghembuskan bulatan-bulatan yang kuharap menjelma menjadi tanda-tanda hati berwarna putih. Ia menatap bulatan-bulatan yang berkejaran itu dan melakukan hal yang sama. Kami tersenyum bersama sambil tetap saling menggenggam jemari yang mulai menghangat[].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H