"Sampai sekarang memang belum ada. Laporan dari bawah hal itu (pendataan difabel) memang belum dimasukkan. Nanti kami akan coba masukkan datanya," ujar Husni di Jakarta, Selasa (30/7/2013).
Hal ini tentu bukan soal mudah. Para aktivis yang membela hak politik difabel pun menyadari kesulitan ini. Untuk memilah data tersebut, harus kembali ke lapangan dan selain membutuhkan waktu yang relatif panjang juga membutuhkan anggaran besar. Satu-satunya jalan keluar adalah menyadarkan penyelenggara negara dalam hal ini para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan di seluruh level pemerintahan agar lebih memperhatikan keberadaan warga negara demi tegaknya tata kelola pemerintahan yang inklusif.
Kelemahan penyelenggaran Pemilu juga disampaikan oleh Hadar Nafis Gumay di sela-sela rapat konsultasi dengan DPR RI di Jakarta.
"Sebetulnya memang kami minta Pantarlih untuk mencatatkan pemilih yang disabilitas dalam proses pencocokan dan penelitian. Tapi, belum kami cek lagi. Sekarang memang belum ada data pemilih disabilitas. Hanya saja, petugas Pantarlih alpa mencatatkan pemilih disabilitas saat proses pemutakhiran dilakukan. Di sisi lain, masyarakat pun enggan melaporkan keberadaan pemilih disabilitas.” demikian ibuhnya.
Apa yang disampaikan oleh Hadar menunjukkan bahwa di sisi lain, warga—khususnya keluarga yang memiliki anggota difabel—pun sesungguhnya berkontribusi pada sulitnya mencakupkan pemilih difabel dalam pemilu ini. Masih banyak keluarga yang merasa difabel adalah ‘aib’. Hal ini terjadi mengingat masih kuatnya stigma atau atau anggapan bahwa warga yang menyandang disabilitas sebagai warga kelas dua.
Penyelenggara Pemilu atau Pilkada juga mengalami kesulitan serupa. Di Bandung misalnya, saat pemilihan Walikota berlangsung ada upaya melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kelompok difabel dan ‘lanjut usia’ marjinal. Di Jawa Barat, perkiraan jumlah pemilih disabel mencapai 10-15 persen dari total pemilih di Jabar atau 3,25 juta hingga 4,7 juta jiwa. Akan tetapi KPU Jawa Barat tidak memiliki data rinci sehingga tidak mengetahui keberadaan mereka. Akibatnya, pemberian fasilitas khusus yang dapat menunjang penyaluran hak politik difabel sulit dilakukan. KPU hanya memberikan fasilitas berupa template braile yakni sarana untuk mencoblos surat suara bagi penyandang tuna netra. Setiap TPS disediakan satu template.
Namun, koordinator Forum Pejuang Difabel Jawa Barat Jumono mengatakan penyiapan template saja sejatinya tidak cukup. KPU seharusnya melakukan sosialisasi pemilihan gubernur terhadap difabel dan bukan sekadar menyosialisasikan terhadap masyarakat umum dengan asumsi di dalamnya termasuk para difabel. Materi sosialisasinya pun bersifat umum dan tidak memperhatikan keterbatasan para difabel.
Sosialisasi Pemilu bagi difabel membutuhkan alat-alat khusus, seperti buku panduan pemilih yang dicetak dalam huruf braile supaya dapat dipelajari oleh difabel tuna netra dan jika sosialisasi dilakukan di sebuah ruangan, maka perlu menggunakan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh difabel tunarungu. Jumono bahkan menambahkan bahwa ketidakpedulian terhadap pemilih difabel tidak hanya dilakukan oleh KPU Jabar tetapi juga dilakukan oleh tim kampanye semua pasangan calon. Buktinya, tidak ada satu pasangan calon Gubernur Jawa Barat yang mencetak visi dan misinya dengan huruf braile ataupun menjelaskan program kerja mereka kepada penyandang tuna rungu.
Jaka Ahmad adalah seorang pemilih difabel di Jakarta. Ia mengatakan bahwa sudah empat pemilu berlangsung selama hidupnya, hanya sekali ia dapat mengikuti pemilu. Menurutnya, hampir di setiap pemilu dirinya dan tiga anggota keluarganya yang juga difabel, tidak didata. Pada pemilu terakhir, ia pun dengan terpaksa dan susah payah mendaftarkan dirinya ke Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat. Jaka juga menceritakan saat ayahnya yang lumpuh akibat stroke hendak memilih. Katanya, saat itu petugas mengatakan harus didampingi, sementara ayahnya mengatakan lebih nyaman didampingi olehnya karena saya tidak melihat pilihannya dan kerahasiannya terjamin. Namun saat itu petugas berkeras dan mengatakan harus tetap didampingi. Mau tidak mau, ayahnya pun mengalah. Menurutnya, kerahasiaan pilihan pemilih pada pemungutan suara merupakan hal penting, “Bisa saja, petugas mengarahkan tangan saya karena saya tidak bisa melihat." Ujarnya.
Demikian sejumlah bahasan media yang menggambarkan kelemahan Pemilu di Indonesia yang masih lalai menciptakan Pemilu Inklusif di mana hak setiap warga negara untuk menikmati hak-hak politik mereka secara setara dan bermakna. Jika merujuk kepada buku ‘Accessible Elections for Persons with Disabilities in Indonesia (Aksesibilitas Pemilu untuk Difabel di Indonesia) yang disusun oleh PPUA Penca 2013, maka sekurang-kurangnya ada 4 macam hambatan yang akan dihadapi pemilih dan kandidat difabel pada Pemilu 2014, yakni: Hambatan Legal, Hambatan Informasi, Hambatan Fisik, dan Hambatan Sikap. Keempat hambatan ini senada dengan pembahasan di media massa yang sejauh ini sudah mulai ramai didiskusikan.
Waktunya sekarang segenap pihak bersama-sama membenahi Pemilu. Salah satu cara penting untuk mengatasinya di mana segenap pihak menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilu agar lebih manusiawi karena sesungguhnya prinsip CRPD itu sendiri sarat dengan ‘muatan kemanusiaan’. Dengan terlaksananya Pemilu yang manusiawi maka inklusivitas pemilu tentu akan tercapai di masa-masa mendatang.