Mohon tunggu...
isfandiari mahbub djunaidi
isfandiari mahbub djunaidi Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Artikel IPDN Versus Osvia oleh: Isfandiari

15 April 2011   08:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari jendela angkot, IPDN bagai kampus kahyangan. Ialah tatar priangan yang sukar dicari bandingannya. Si preangerplanters, yang dipuja pelancong Belanda masa silam, tak meleset tulisan almarhum Haryoto Kunto di bukunya Bandung Tempoe Doeloe.

Mungkin tak ada satu siswapun yang menyangkal. Kali pertama berkenalan, merekadisuguhi lereng nan indah bernama Jatinangor. Nurani menjadi teduhsaat angin dari lembah berkunjung lewat sela-sela gunung Papandayan. Aroma tanah ukur dan kulit pinus mengendus sayu. Mataakan berbinar saat tatapanmengarah ke barat: hamparan sawah menghijau Majalaya dangunung Malabar tampak dari kejauhan. Menengok ke pinggir sedikit, Gunung Tangkuban Parahu dan Burangrang terkesiap malu-malu. Jangan lupa sama jajaka dan mojangnya yang senantiasi menyapa kumaha damang…pangestu dengan taklupa melempar senyum

Kemasannya ditambah lagi. Gedung yang mentereng. Di depan tampak dua ‘berhala’ berbentuk siswa-siswi berdiri tegak. Di tengah rumput menghijau bertulis IPDN besar-besar. Belum lagi tangga luks menuju Aula dan barak-barak tiap propinsi. Semuanya berseka seakan tak mau kalah dengan alam buatan Ilahi di sekitarnya. Ini benar-benarkampus pencetak pamong praja ideal.

Situasi begini pastilah menciptakan kaum cerdik cendikia berkalbu lembut. Teringat kita pada seniornya terdahulu, seperti Osvia alias Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren di akhir abad 19 dan bebuka abad 20. Sekadar tahu, sekolah calon pamong praja tempo dulu inipunya guru sepertisi lembut hati, Kiai Haji Ahmad Dahlan, sebelum mendirikan Muhamadiyah pada 8 zulhijah atau 18 nopember 1912. Yah.., saat sekarang setingkat Inu Kencana, setidaknya sama-sama jadi staf pengajar di lembaga ini.

Waktu itu, sang guru Ahmad Dahlan punya pijakan kuat menggembleng murid-muridnya. Ia berpatok pada Al-Quran terutamaSurat Ali Imran 104: Adakanlah diantara kamu segolongan umat yang menyuruh manusia pada keutaman dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya perbuatan yang mungkar Umat yang berbuat demikian itulah yang akan berbahagia”

Tentunya suruhan ini terjun dalam prakteknya. Murid-murid dijaga agar bisa menjadi pamong praja yang menyuruh manusia pada keutamaan, berbuat kebajikan dan menghindari perbuatan mungkar. Pada prakteknya tentulah harus sesuai dengan ‘genre’-nya, mengajari adab cinta kasih, empati, tepa selira, jujur tak licik dan jauh dari sadisme.

Seratus tahun berselang, keadaannya berbalik. Para calon Pamong Praja dipaksa mengalami sadisme. Setidaknya 3 orang tewas sejak tahun 1995-an. Simpati saya kepada.Eri Rahman tahun 1999-2000, Wahyu Hidayat 2002-2003 danmoga terakhir, Cliff Muntu tahun 2007 ini. Mantan rektor IPDN Nyoman Sumaryadi lewat kantor berita Antara mengakui, pemukulan pada Clif masuk kategori sadis.

Saya setuju. Melihat tayangan tivi, jika pemukulan dilakukan dalam situasi murka, logika memukul tanpa perhitungan masih masuk akal. Di beberapa kejadian tampak sang algojo bercanda sambil tertawa-tawa, terus terang saja ini masuk kategori pembunuh berdarah dingin. Apalagi hasil otopsi Clif menujukkan organ vitalnya rusak. ‘Pembinaan’ yang menyerang organ rentan yakni ulu hati, kepala dan alat vital adalah eksekusi yang terkonsep matang.

Pembinaan seratus tahun lalu ternyata jauh berbeda. Siswa tak perlu guling-gulingan di tangka untuk kemudian di gingkang ala Jet Lee. Yang perlu dilakukan adalah menghayati dan mengamalkan apa yang diajarkan AL-Qur’an semisal surat Ali Imran tadi. Sang calon Pamong dinggap segolongan umat utama yang bisa membimbin yang lain menuju kebajikan, mencegah perbuatan mungkar untuk mencapai bahagia. Hasilnya, bisa diuji. Di Jaman itu lahir pribadi-pribadi mulia yang mampu membimbing Indonesia menuju kemerdekaan.

Pertanyaannya, apakah calon pamong praja sekarang mampu mempertahankan kemerdekaan itu? Walahu Alam….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun