Mohon tunggu...
Isdiyono Pak Guru
Isdiyono Pak Guru Mohon Tunggu... -

Sebuahperjalanan panjang tanpa batas, untuk mencetak buah pemikiran, dalamsebuah coretan, yang kan menjadi sebuahnoktah dalam lebarnya sejarah..."\r\n"...hidup adalah pilihan, tinggalkan yang meragukan, karena perubahan bukan untuk ditunggu..."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbah Maridjan hanya Manusia Biasa

14 November 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, Merapi melontarkan materi vulkaniknya keluar (26/10). Dalam peristiwa ini puluhan orang tewas, termasuk para relawan, puluhan lainnya mengalami luka bakar yang serius. Duka menyelimuti wajah penduduk yang mengungsi akibat tragedi tersebut. Banyaknya korban yang jatuh (31 orang sampai hari Jum'at, 29/10), menjadikan kita bertanya-tanya.

Peristiwa ini terulang kembali pada hari Sabtu pukul 00.40, tetapi tidak mengakibatkan korban jiwa. Hanya saja, langit kota Jogja memutih pada pagi harinya hingga sekitar pukul 10.00. Pengungsi pun turun meninggalkan kamp pengungsian lama ke arah yang lebih jauh jarak jangkauannya dari pusat gunung Merapi.

Hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah fakta bahwa bencana alam itu tidak bisa dicegah. Manusia hanya bisa berusaha untuk mencegah melalui tanda-tanda, sedangkan yang menentukan akhirnya adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Nama yang menjadi perbincangan hangat setelah peristiwa ini adalah Mbah Maridjan. Mas Panewu Suraksohargo (83), atau lebih akrab kita kenal sosoknya sebagai Mbah Maridjan. Selama ini, beliau selalu teguh pada pendiriannya untuktetap tinggal dan memberikan perasaan aman bagi warga di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun badan meteorologi dan geofisika (BMKG) telah meningkatkan status Merapi menjadi awas pada Senin sore (25/10), beranjak satu inchi dari rumahnya pun tidak.

Kalau dipikir secara ilmiah, atau secara orang awam, keteguhan pendiriannya ini merupakan sikap yang konyol. Menolak kenyataan bahwa tanda-tanda dari alat pendeteksi letusan Merapi bukanlah sikap yang bijak. Apalagi, orang-orang di sekitarnya segan dengan kata-kata dan "laku" yang dijalaninya.

Tampaknya, peristiwa tahun 2006 ketika Merapi tidak jadi meletus menjadikan orang-orang di sekitarnya lebih percaya pada keputusan Mbah Maridjan. Bahkan, para pendaki pun selalu "sowan" dulu kepada beliau sebelum meneruskan langkahnya untuk menaklukkan lereng Merapi.

Dalam mitos masyarakat Jawa yang berkembang, posisi Mbah Maridjan sebagai juru kunci memiliki kekuatan supranatural. Keamanan yang selama ini dirasakan oleh warga sekitar menegaskan bahwa ada keistimewaan dari beliau. Sehingga, tidak heran kalau masyarakat kebanyakan percaya pada kebijakan yang diambilnya.

Kalau kita turut sesuai dengan sejarah, fakta ini tidak terlepaskan dari kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa kerajaan Mataram. Hal ini terkait dengan penghormatan masyarakat pada orang yang dituakan.

Dalam Babad Tanah Jawa, posisi kerajaan Ngayojokarto Hadiningrat diapit oleh dua kerajaan besar di sebelah utara dan di sebelah selatan. Jadi, posisi kerajaan yang kasat mata ini terletak di antara dua kerajaan besar Merapi dan Pantai Selatan. Fakta ini dapat kita lihat dari posisi Gunung Merapi-Keraton Ngayojokarto Hadiningrat-Parangtritis yang terletak pada satu garis lurus.

Posisi strategis ini memantapkan pembicaraan orang-orang tua tentang makna sebuah hal. Baik itu perkataan, peristiwa, perkataan atau perbuatan seseorang yang dianggap tua. Dalam sistem yang berlaku pada etika masyarakat Jawa, omongan orang yang dianggap "tua" memiliki nilai kesakralan yang tinggi.

Membantah atau sekedar mengkritisi pendapatnya diyakini akan mengalami celaka. Setiap kata, perbuatan, hingga tanda-tanda yang kecil harus diperhatikan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan kemudian.

Pada akhirnya, setelah pemegang kunci terakhir Merapi ini meninggal dunia hal menarik yang akan kita simak adalah efeknya terhadap kepercayaan masyarakat. Apakah hal ini bisa dijadikan pelajaran bagi semua bahwa Mbah Maridjan pun hanyalah seorang manusia biasa. Beliau hanya seorang orang yang menghambakan diri kepada-Nya.

Diamnya seorang yang dianggap "tua" itu memiliki nilai, yang diartikan berbeda oleh orang yang berbeda. Bisa jadi, sikap diam yang diperlihatkan adalah pesan bahwa dia tidak ingin masyarakat salah paham terhadap sikap yang dilakukannya. Bahwa manusia hanya bisa berusaha, dan yang menentukan keputusan finalnya adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah banyak korban berjatuhan karena tidak mengindahkan pesan dari BMKG, apakah masyarakat kemudian mampu bersikap lebih bijak. Bahwa pertanda bencana itu tidak hanya didapat dari seorang manusia biasa, tetapi bisa dari tanda-tanda alam dan analisis dari teknologi. Karena teknologi pun menganalisis kemungkinan kejadian berdasarkan fakta yang sedang berlangsung.

Memang, nilai dan makna sebuah budaya yang terwujud dalam cipta, rasa dan karsa adalah warisan luhur bangsa. Keberadaannya yang terdesak oleh kemajuan teknologi, menjadikan kebudayaan sangat penting untuk dilestarikan. Ibarat tubuh, budaya bisa kita artikan sebagai jantung dalam tatanan masyarakat. Jika tak ada aturan dalam kebudayaan, maka sebuah masyarakat akan kehilangan nyawanya (baca: karakter).

Tetapi, budaya itu sendiri adalah sebuah tatanan hidup yang dinamis. Artinya, kebudayaan itu muncul dan tenggelam berdasarkan kekuatan besar yang berkuasa dan menanamkan ideologinya. Bukan berarti budaya itu harus dihapuskan dalam tatanan masyarakat sosial. Tetapi, budaya harus bisa menyesuaikan dengan kondisi fakta baru yang terbukti secara ilmiah. Karena ketika sebuah teori ditemukan pun maka teori lama dapat digantikan.

Dalam perspektif (pandangan) ini, kita harus mampu melihat arti makna sikap dengan belasan korban yang harus mati konyol karena kurang memperhatikan imbauan dari pemerintah. Bahwa seandainya pun Sultan menunjuk juru kunci baru, maka harus dijelaskan secara rinci apa tugas pokok seorang juru kunci. Bahwa dalam pemikiran awam, peran seorang juru kunci itu adalah memberikan rasa aman dengan kebijakan yang diambilnya.

Rasa aman bukan berarti adalah mempercayai kata-katanya sebagai sebuah pesan mutlak yang harus dipercaya. Bukankah beliau juga berpesan kalau dirinya tidak mau untuk dijadikan sebagai panutan yang dikultuskan secara berlebih? Yang jelas, Mbah Maridjan adalah seorang abdi dalem Kraton Ngayojokarto Hadiningrat. Mbah Maridjan adalah seorang manusia biasa. Wallahu a'lam.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun